Halaman

Rabu, 26 Juni 2013

Senja di Kereta

Deru kereta menggebu,
Hentakan rodanya pada rel membawaku pada dunia yang lain,
Dunia di mana segalanya terasa begitu lekas,
Dunia di mana segalanya terasa begitu mendebarkan,
Dunia,
Di mana segalanya berubah terlalu nyata...

Konon, yang tak kuat pada perjalanan panjang, akan menemukan sisa-sisa kenangan semalam di meja makan pada muntahannya..
Muntahan kenangan memang lebih mudah terpancing pada perjalanan, bukan pada raga tanpa gerak..

Tirai masih terbuka, warna oranye langit mulai menyapu setiap jengkalnya...
Tapi ada yang menyayat di sana,
Ada hati yang merindumu di dalam gerbong kereta tua pada senja sore hari,
Ia tak muntah,
Ia hanya raga tak berdaya yang telah mati ditikam kenangan mereka...

Datanglah lagi,
Layaknya senja yang rajin menyapa,
Pun seperti kereta,
Yang meski telah tua namun masih begitu nyaman dan rajin datang...

Senja menuju Semarang,

Tapi berharap sampai ke tempat lain...

Minggu, 23 Juni 2013

Kepada Kepala Keluarga

Kepada kepala keluarga yang mengorbankan kehormatannya demi menyambung hidup keluarganya,
Kepada kepala keluarga yang menempatkan dirinya pada tempat paling bawah pada tubuh keluarganya,
Kepada kepala keluarga yang selalu menjadikan anggota keluarganya yang pertama meski seluruh keluarga selalu menjadikanmu yang kesekian,
Aku, hanya ingin meraih tanganmu,
Semoga kepedihan itu terhantar.

Kepada kepala keluarga yang menjadi perisai keluarganya,
Kepada kepala keluarga yang menjadi benteng besar keluarganya,
Kepada kepala keluarga yang menjadi atap kokoh keluarganya,
Aku, hanya ingin duduk bersisian denganmu,
Cairlah sedikit, rasakan hangatnya tawa keluargamu.

Kepada kepala keluarga yang tak mampu menafkahi anak-anaknya,
Kepada kepala keluarga yang tak berdaya dalam menyambung hidup anak-anaknya,
Kepada kepala keluarga yang menunduk sebagai ganti kehormatan anak-anaknya,
Aku, hanya ingin kau menatap mataku,
Rasakan bahwa engkaulah kehormatan keluargamu.

Kepada kepala keluarga yang selalu tidur paling akhir,
Kepada kepala keluarga yang selalu berjalan paling belakang juga selalu harus paling tahu arah,
Kepada kepala keluarga yang selalu menyimpan sepinya sendiri dengan rapih,
Aku, hanya ingin mengintip sedikit pada kotak diammu,
Agar kiranya aku dapat belajar nikmatnya tersenyum di belakang.

Kepada kepala keluarga yang membaca surat ini,
Kepada (calon-calon) kepala keluarga yang berharap melebihi Ayah kalian,
Kepada kepala keluarga,
Kepada (yang di)kepala(i dalam) keluarga,
Bukan hormat yang akan kusembahkan,
Barangkali pengabdian.
Bukan mata uang yang akan kupintakan,
Barang kali mata hati yang jernih.
Dan,
Bukan dijaga dari belakang yang kumau,
Kelak nanti, kumohon kita saling menjaga,
Dari depan, belakang, sisi kanan dan kiri,
Agar tak ada sepi yang tersembunyi,
Agar tak ada mimpi yang hanya hidup di kepalamu, atau kepalaku saja,
Agar hangat kita terus terhantar tanpa putus,
Bukankah kita ini lingkaran?

Layaknya janji manis yang kau (akan) sematkan pada jari manisku...

Tembok Besar

Seharusnya sejak awal, aku sudah paham apa arti diammu,
Seharusnya sejak awal, aku sudah paham apa arti menjauhmu,
Seharusnya sejak awal, aku sudah sangat paham apa arti bicaramu...

Meski segalanya terasa semanis bulir gula,
Meski segalanya terasa seindah laut fajar,
Meski segalanya terasa selembut kapas,
Namun seharusnya aku sadar sejak awal,
Kamu hanya terlalu pandai dalam memperlakukan temanmu.

Atau, kamu hanya sedang bangkit dari jatuh,
Itulah sumber kekuatanmu,
Jatuh, untuk kemudian bangkit...

Setelah segalanya terasa begitu meyakinkan,
Kamu menepis.
Setelah segalanya terasa begitu mengikat,
Kamu melonggar.
Setelah segalanya terasa begitu nyata,
Kamu menghilang.

Akhirnya kukatakan pada diriku sendiri, “Tembok itu terlalu besar. Rasa sakit itu membangun penjaranya sendiri. Sadarlah, semuanya sudah terlalu tidak mungkin...”

Yang sudah begitu sadar akan ketidakmungkinan,

Namun masih lebih begitu mengharap.

Selasa, 18 Juni 2013

Kisah Soul-mate, di Balik #SoleMate

Sudah beberapa hari ini sibuk dengan #SoleMate. Ganti display picture bbm pakai fotonya, ganti display picture what’s  up dengan fotonya, ganti avatar twitter juga dengan fotonya. Sebetulnya apa sih dia? Siapa sih dia? Seistimewa apa sih dia?

Jadi, #SoleMate adalah project dari dua orang sahabat yang punya kegemaran yang sama, menulis dan sepatu. Yakni, Mia Haryono dan Grahita Primasari. Kedua sahabat yang sudah menelurkan sebuah buku kumpulan cerpen bersama sahabat mereka yang lain ini memiliki ide untuk membuat sebuah buku tentang sepatu.

Akhirnya mereka membuat sayembara yang waktu itu kami sebut #ShoesProject. Kedua project holder ini mengajak para wanita-wanita berbakat menulis penggemar sepatu untuk turut berkontribusi pada kumpulan cerita pendek mereka.

Awalnya gue biasa saja dengan project ini. Sampai akhirnya twit serta hestek mereka muncul bergantian di lini masa twitter gue, dan sampailah gue pada halaman working paper mereka. Tak dinyana tak diduga, akhirnya gue berhasil mengirimkan sebuah cerita pendek yang disambut baik keduanya.

Sebetulnya gue mengirimkan dua buah cerita, tapi tidak berbarengan. Setelah cerpen gue yang pertama—Sneaky Head vs Sneaky Hate—mendapatkan beberapa kali bongkar pasang, dan akhirnya kami deal untuk memasukkan cerita itu, Kak Mimi memberikan kabar yang mengejutkan. Bahwa cerpen gue yang kedua—Loafer Biru Dongker—terselip dan baru sempat dibaca. Eng-ing-eeeeeeng, dan para project holderpun lebih suka dengan cerpen yang itu. Akhirnya, yang akan diselipkan dalam #ShoesProject mereka adalah si Loafer Biru Dongker.

Buku kumpulan cerpen ini berisi banyak cerita pendek, banyak puisi, serta banyak ilustrasi tentunya tentang sepatu. It’s stepping soon into your book closet only with 40 IDR! Bisa pre-order, bisa juga langsung meluncur ke toko buku terdekat!

Gue bersama MiaHaryono, Grahita Primasari, Okke Sepatumerah, Gabrielle Connie, Yessy Muchtar, Stephany Josephine, Kiki Raihan, Ponti Almas Karamina, Anggi Zoraya, Ch. AmaliaAchmad, Cyntia Febrina, Nadya Yolanda A Moeda, Fany Novaria, Diar Trihastuti, Riesna Kurniati, Ch. Evaliana, Lia Khairunnisa, Fatima Alkaff, dan Tia Setiawati akan berbagi dalam satu buku untuk menghantarkan kisah kami dengan sepatu-sepatu, kisah sepatu-sepatu dengan sepatu-sepatu, juga kisah hati-hati dengan sepatu. Selamat menikmati!


Karena setiap langkah memiliki kisahnya sendiri-sendiri

Jumat, 14 Juni 2013

Sygnomi

Bibir merah ini mulai merapal doa,
Doa agar bisa menghilang dalam sekejap,
Doa agar degup jantung tak menggebu,
Doa agar segala doa tentangmu terkabul.

Mata ini berjalan ke sana, kemari,
Menjelajah ruang demi mencarimu,
Menjelajah sudut demi mencari pelampiasan,
Menjelajah bangku di belakangmu agar punya alasan.

Pembicara percuma terus berkicau, materinya tak sampai,
Pembicara percuma berdiri, tubuhnya kalah magis denganmu,
Pembicara percuma datang, kehadirannya tak gubris perhatianku.

Kisah itu datang lagi,
Lirik itu bertandang lagi,
Pada tirai terakhir, mata kita saling sapu dalam pencurian,
Kemudian tatapan itu lari tunggang langgang seakan terpergoki melakukan kriminalitas.

Matamu, kriminil,
Buat segala yang ada padaku lumpuh kemudian mati.
Matamu, kriminil,
Buat diriku jatuh dan tergilas.
Hatimu yang berkabut, kriminil,
Buat harap yang akhirnya mati sia-sia ditikam ketidakjelasanmu.

Bisakah kita kembali pada pencurian itu?
Bisakah kita lebih saling menerima dan diam?
Diam pada pencurian.
Rela untuk kemudian mendekam pada penjara bahagia.

Kepada kacamata di seberang ruang,

Dari mata genit tanpa pakaian yang menyesal

Kita dan Kata

Ada waktu, di mana kata berhenti pada ujung lidah,
Ada waktu, di mana kata berhenti pada pikiran,
Ada waktu, di mana kata berputar pada porosnya mengelilingi diri ini dengan segala pikir tentangnya.

Terkadang, kata mengutuk,
Terkadang, kata mengetuk,
Tapi, apakah terkadang kata yang berkedok dapat sampai pada tujuannya?

Kata itu tak pernah ada, seperti halnya tentang kita,
Kata itu selalu mengutuk, segala yang menghalangi kita,
Kata itu semu.
Seperti kamu dalam kita.

Ada waktu, di mana kita berakhir pada kata...
Tapi, kapankah kata menyerah pada kita?


Hati yang menerjemahkan mata, meski masih tuna pada aksara

Berdua

Jarum-jarum pada jam dinding mulai menusuk-nusuk nadiku,
Bisakah kita mengkristalkan diri kita pada waktu yang sebegini indahnya?

Hamparan danau terlukis di hadapanku,
Angin berhembus menyapa kulitku,
Adakah inginmu duduk pada sisi bangkuku?

Bukan kata cinta,
Bukan peluk hangat,
Hanya kamu, aku, dan kita,
Terbingkai pada bangku kecil ini,
Berdua


Mata nanar di hadapan danau hijau pada tempat paling magis bagi pelajar...

Kamis, 06 Juni 2013

Immatura

Mata itu berkedip sekejap, bahkan lebih cepat daripada kecepatan cahaya,
Gerakan sekecil hempasan napas pun dapat buat radarku menyala,
Tubuhku menegang,
Bola mataku membulat,
Jantung ini berdebar secepat kilat.

Tapi, bukankah semuanya butuh proses?
Tak ada benih yang tumbuh dalam waktu semalam,
Jika ada, mungkin hari berikutnya ia mati pada tanah.
Barang kali sudah ditakdirkan,
Tapi apakah Tuhan memang gemar memanjakan hamba-Nya dengan gendongan takdir baik?
Kurasa bukan itu.

Sadarlah hai imajiner,
Ini semua terlalu cepat,
Jangan buka mata, tutuplah untuk setidaknya melihat ke dalam dirimu lebih dalam
Tenggelamlah di sana,
Jangan melawan.
Sadarilah, segalanya terlalu cepat.
Terlalu premature.

Mata yang melihat dalam gelap,

Pada tengah malam penuh imajinasi

Sabtu, 01 Juni 2013

Gulali

Warnanya cerah dan manis,
Dengar-dengar, rasanya hanya manis di pangkal lidah, kerongkongan kebagian pahit dan keruhnya.
Bentuknya lucu dan manis,
Katanya, mudah keras jika didiamkan, mudah kempis jika dikekang.
Permukaannya kasar dan lembut,
Kasar jika dipilih satu helai, lembut jika dibelai sayang.
Jika tak hati-hati, bisa menempel pada lengket biang gulanya.

Sembari menelan ludah, kupandangi kembang gula manis di tangan
Kuhela napas lemas, pahitnya menjalari kerongkongan sampai dada sesak
Kalau dibawa pulang, bisa-bisa sudah keras sampai rumah
Kalau dihabiskan, bisa-bisa aku muntah.

Kata Ibu, jangan banyak berpikir.
Jika ingin kulepas, maka lepaskanlah.
Jika belum rela, maka relakanlah.
Tak adakah tuntunan untuk tetap memegang gagangnya meski kembangnya kudiamkan diterpa angin?
Apa baiknya memang seperti itu?

Kupejamkan mata, kurentangkan tangan
Gulali kini berada pada tangan kananku
Biarkan alam yang ambil alih,
Biarkan alam yang bicara.
Kudengarkan, meski buatku tuli
Kurasakan, meski buatku mati
Kubiarkan, meski buatku sesak

Kubuka mata,
Dan semua telah terputar pada layar tancap besar di sana,
Kembang gula itu mengeras, sampai akhirnya jatuh dan terinjak-injak
Meski rasanya sakit, tapi setidaknya aku punya nyali.
Barang kali, gulali manis itu mesti kugantikan dengan obat pahit,
Agar paham, kebaikan itu hadir dari kepahitan.

Malam minggu sunyi, pada kamar penuh pikir tentangmu

Lampu Jalan

Malam datang!!
Tiang-tiang tinggi menjulang itu mempersiapkan diri,
Gelap yang menyerap kerap buat mereka gemerlap,
Meski hanya beri setitik sinar, tapi syukur masih buat orang berjalan benar.

Malang, jika ada dikata silau, jika mati dikata kacau.
Sayang, cahayanya hanya segaris, padahal ingin lihat senyumnya yang berbaris.
Bayang, yang ia ciptakan malah satu-satunya teman bagi yang ia rindukan.

Tapi tak apa, asal kasihnya bersinar tak hampa.
Kini matahari kembali, mereka berkemas pergi.
Hanya sekilas kedip, salam perpisahan untuk malam nanti bersinar lagi.


Siang terang, pada tiang lampu nakal yang masih benderang