Kepada kepala keluarga
yang mengorbankan kehormatannya demi menyambung hidup keluarganya,
Kepada kepala keluarga
yang menempatkan dirinya pada tempat paling bawah pada tubuh keluarganya,
Kepada kepala keluarga
yang selalu menjadikan anggota keluarganya yang pertama meski seluruh keluarga
selalu menjadikanmu yang kesekian,
Aku, hanya ingin meraih
tanganmu,
Semoga kepedihan itu
terhantar.
Kepada kepala keluarga
yang menjadi perisai keluarganya,
Kepada kepala keluarga
yang menjadi benteng besar keluarganya,
Kepada kepala keluarga
yang menjadi atap kokoh keluarganya,
Aku, hanya ingin duduk
bersisian denganmu,
Cairlah sedikit,
rasakan hangatnya tawa keluargamu.
Kepada kepala keluarga
yang tak mampu menafkahi anak-anaknya,
Kepada kepala keluarga
yang tak berdaya dalam menyambung hidup anak-anaknya,
Kepada kepala keluarga
yang menunduk sebagai ganti kehormatan anak-anaknya,
Aku, hanya ingin kau
menatap mataku,
Rasakan bahwa engkaulah
kehormatan keluargamu.
Kepada kepala keluarga yang
selalu tidur paling akhir,
Kepada kepala keluarga
yang selalu berjalan paling belakang juga selalu harus paling tahu arah,
Kepada kepala keluarga
yang selalu menyimpan sepinya sendiri dengan rapih,
Aku, hanya ingin
mengintip sedikit pada kotak diammu,
Agar kiranya aku dapat
belajar nikmatnya tersenyum di belakang.
Kepada kepala keluarga
yang membaca surat ini,
Kepada (calon-calon)
kepala keluarga yang berharap melebihi Ayah kalian,
Kepada kepala keluarga,
Kepada (yang
di)kepala(i dalam) keluarga,
Bukan hormat yang akan
kusembahkan,
Barangkali pengabdian.
Bukan mata uang yang
akan kupintakan,
Barang kali mata hati
yang jernih.
Dan,
Bukan dijaga dari
belakang yang kumau,
Kelak nanti, kumohon
kita saling menjaga,
Dari depan, belakang, sisi kanan dan kiri,
Agar tak ada sepi yang
tersembunyi,
Agar tak ada mimpi yang
hanya hidup di kepalamu, atau kepalaku saja,
Agar hangat kita terus
terhantar tanpa putus,
Bukankah kita ini
lingkaran?
Layaknya janji manis
yang kau (akan) sematkan pada jari manisku...