Halaman

Jumat, 07 September 2012

Menanti Pelangi Pada Senja


Semuanya tampak wajar. Semuanya berjalan tampak tanpa beban. Semuanya berlalu tampak tanpa sangkutan. Tapi tak semudah wajahnya. Semua orang tahu, tak ada hal yang mudah jika hati telah terlibat. Aku lumpuh dalam ketidaktahuan. Aku terdampar dalam ketidakpastian.

Ribuan kata telah bercampur dan menjadi partikel tak terlihat. Ribuan waktu telah melapuk bersama dengan ribuan kenangan tanpa satuan. Semua orang tahu, tawa tak hanya sekadar kebahagiaan numpang lewat. Tangis tak hanya sekadar airmata kesedihan. Dan cerita tak hanya sekadar keperluan pengisi kekosongan.

Kuhirup oksigen penuh kesesakan. Kuhembuskan airmata kebodohan. Apalagi yang kunanti? Ketidakpastian? Sudah pasti ketidakpastianlah hal yang paling pasti.

Banyak kata penuh keganjilan terucap tanpa penggenapan. Banyak kata penuh makna tanpa tujuan yang kamu tuankan. Banyak harapan tak terucap yang kuamini, sendiri.

Apa arti kenangan kita selama ini? Apa arti tawa kita selama ini? Apa arti waktu kita selama ini? Kemana sajakah kamu selama ini? Kemana sajakah semua memori itu berlari? Atau malah menguap?
Perlahan, kakiku mengawang. Kartu domino ini masih kusimpan. Aku takut, semua ketakutanku membuat rangkaian domino itu malah jatuh, menghancurkan yang telah ada. Ada yang lebih bodoh dari takut akan sebuah ketakutan?

Serigala sedang jatuh cinta. Tak perlu takuti jarak, serigala peka pada jarak jauh. Tak perlu ragukan perhatian, gelappun aku tahu kamu sedang bernafas. Berhenti meragukan pijakan yang bahkan belum kamu sentuh.

Ini kita. Aku dan kamu. Dua dekat yang menyimpan ragu. Dua tak saling ikat yang hanya bersinggungan bahu.

Gemericik air hujan tak sanggup menahan berisik hatiku yang tak terucap. Diamlah sejenak untuk mendengar derunya. Mulutku terisolasi oleh gengsi. Airmataku tercongkel oleh kelelahan. Kenapa harus selalu aku yang mulai? Kenapa harus selalu kamu yang diam? Kenapa harus selalu aku yang menampar sepi? Kenapa jalan ini hanya satu arah?

Basa-basi tak akan bertahan lama. Cepat atau lambat, semuanya akan melapuk. Lajuku tak lagi dapat bertambah cepat jika kakiku ada pada genangan air besar. Sadarlah, ini bukan lagi permainan. Ini bukan lagi hal biasa.

Akankah kelak kutemukan pelangi pada senja yang mulai menua?

5 komentar:

  1. kini ku menanti pelangi di gelap nya langit malam hari
    bukan karena kemungkinan atau pengharapan yang membuat ku menunggu, tapi kerinduan akan indah nya pelangi itu

    kurelakan dunia universal dan bertahan pada dunia parsial ku, seperti atom yang memisahkan diri dari molekul nya

    keyakinan dan impian intuisi yang melahirkan pengharapan itu, dengan penantian menunggu dan memandangi langit gelap ku merasakan kekekalan tiada arti

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kuberitahu ya, sesuatu yang kekal adalah ketidakkekalan. Memang benar pelangi lebih indah jika berlatar langit gelap malam, tapi toh ketidakmungkinan adalah realita yang sedikit manis tapi menyakitkan. Silahkan menanti pelangi itu terbit membentuk jembatan pada gelapnya malam.

      Hapus
  2. ketidak mungkinan tetap lah tidak mungkin
    namun tetap ku menunggu dan berpegang teguh pada pengharapan
    tak ku dapatkan pelangi seperti yang kumau
    namun semua memang indah pada waktu nya
    aurora diberikan pada mereka yang masih terus berdiri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan semua akan indah pada waktunya. Semua akan tetap sama saja jika kita tak menciptakan momen. Semua waktu sama saja, momen yang kita ciptakan yang membuatnya indah

      Hapus
  3. momen tidak kita ciptakan dengan sendiri nya
    seperti jaring laba-laba kehidupan, terkoneksi satu pribadi dengan yang lain, bahkan tindakan orang tidak dikenal pun berdampak
    momentum akan datang bagi mereka yang berusaha mencari dan tekun menunggu

    BalasHapus