Halaman

Minggu, 26 April 2015

Tetaplah Hilang

Malam pertemuan kembali. Kata mereka ini reuni dan pasti seru. Aku sengaja datang duluan. Ingin menapaki kisah yang dulu sempat kusentuhkan pada dinding-dinding retak. Semoga saja tak ada yang datang sebelumku.

Saat sedang asyik berkeliling, kulihat ada yang mengusik di lantai atas. Seperti memandang cakrawala, mencari ujung yang menyala, padahal senja belum juga pulang. Aku tak begitu ingat wajahnya, namun terasa sangat lekat seperti ada yang pernah. Namun aku kembali berkeliling dan mengenyahkannya saja.

Di sana kulihat sosok itu duduk di tepi bak tanaman, di lapangan yang sepi. Kunyalakan nyali dan duduk di sisinya. Saat itu juga kukenali debar yang sama seperti dahulu. Ingin yang sama untuk terus berinteraksi namun karena entah, jadi kuenggan.

Aku takjub. Melihatmu kembali di sana. Membawaku kembali ke masa.

Saat segalanya masih begitu luhur dan jujur, kita pernah sedekat tanah dengan daun yang gugur. Saat aku selalu menyiapkan penghapus putih itu untuk terus-terusan kaupinjam dan kauhilangkan hampir setiap hari. Saat kutunggu hadirmu di hadapanku untuk menghadang dan meminta uang jajan.

Pada masa itu, aku gemar duduk di depan kelas. Aku malas jika diajak bermain lompat tali atau petak umpat bersama teman-teman perempuan lain. Aku hanya ingin duduk di sana, dan melihatmu menendang bola di bawah terik matahari. Menyulap khawatir menjadi tawa saat melihatmu terjatuh.

Dan waktu itu adalah di mana aku ingin sekali bel masuk segera berbunyi. Saat guru meminta kita mencatat. Saat kau membuat kesalahan pada buku catatan dan beranjak dari kursimu menuju kursiku. Meminjam, lalu menghilangkannya. Oh sudah kusebut di atas, ya?

Kini kau duduk di sisiku. Pada masa di mana segalanya telah berubah. Di mana kita sama-sama tahu bahwa apa yang pernah, biarlah menjadi apa yang pernah. Tak akan pernah ada artinya, sampai dunia remuk seperti semestinya.

Sampai ramai. Sampai usai.
Di kursi tengah, kusisipkan  doa yang hanya sebongkah.
Kusisipkan tanya meski mungkin jawabannya kelak hanyalah hanya.

Kepadamu yang selalu mengambil lalu menghilangkan,
Dari yang tak berharap dikembalikan, karena hanya ingin bertatapan.