Halaman

Selasa, 31 Januari 2012

Selamat Ulang Tahun Ayah


Teruntuk Ayahanda tercinta yang jarang sekali bertatap muka.
Dari anakmu yang begitu rindu tapi tak punya daya untuk berlisan.

Apa kabarmu Ayah? Bagaimana makanmu? Bagaimana tidurmu? Adakah yang akhir-akhir ini memusingkanmu? Apa bajumu cukup tebal untuk melindungimu dari cuaca ekstrim akhir-akhir ini? Ayah gak lupa bawa payung, kan? Sekarang hujan gak bisa diprediksi loh Yah.
Ade? Baiiiik sekali. Di sini, Ade masih asik menata kata, mendengarkan beberapa cerita menarik dari sahabat-sahabat Ade, yaaa hitung-hitung belajar jadi psikolog sih Yah hehehe. Ade juga masih sering mengenang gimana dulu Ayah ngajak Ade nyari kunang-kunang. Ingat Yah?
Ayah, kita memang tinggal berjauhan, tapi anggap saja jarak itu mewakili seberapa rindunya Ade akan kedekatan kita. Kita juga jarang komunikasi, tapi anggap saja itu sebagai bagian dari rencana Ade agar saat kita ngobrol, akan ada lebih banyak cerita yang kita bagi. Dan kita juga jarang berbagi kehangatan, pun anggap saja itu sebagai pengingat betapa hangatnya pelukan dan celotah kita terakhir kali.
Ade memang jarang bahkan hampir gak pernah mengungkapkan betapa Ade (masih dan akan terus) sayang sama Ayah. Betapa Ade juga rindu sama Ayah. Tapi sungguh semua itu betul-betul Ade alami. Ade hanya terlalu takut mengungkapkan itu. Takut airmata yang tenang berubah air terjun.
Melalui surat cinta ini, Ade mau bilang, “Selamat Ulang Tahun, Ayah” selamat tanggal 1 Februari, Ayah. Semoga ayah selalu dalam lindungan Allah, hanya setitik harapan kecil itu yang bisa Ade hadiahi untuk Ayah. Nanti, Ade pasti akan mewujudkan impian Ayah. Pokoknya pasti. Ayah hanya tinggal berdoa, dan tetap mendukung Ade.
Mungkin banyak hal yang Ade lewatkan, mungkin banyak hal yang Ayah rindukan, dan mungkin banyak doa tak terdengar tapi tetap menggema dalam hati kita masing-masing. Ada ribuan senja kita lewatkan di tempat berbeda, ada ribuan waktu sholat kita jalani masing-masing, dan ada ribuan bintang yang kita pandang dari tempat berbeda.
Kita hanya berjauhan, bukan saling tidak ingat. Kita hanya butuh waktu membeku dan mempersempit jarak, bukan sekedar tulisan seperti sms. Kita juga butuh sholat berjamaah, bukan hanya saling mengamini doa satu sama lain lewat layanan telpon.
Kapan Yah kita akan mencari kembali kunang-kunang seperti dulu? Kunang-kunang. Seperti halnya Ayah, setitik penerang dalam kegelapan malam. Kapan lagi kita main kembang api bareng Yah? Kapan lagi kita berdoa setelah wudhu barengan Yah?
Ayah….
Biarkan waktu merenggut banyak momen kita, biarkan waktu berceceran tanpa bisa kita pungut lagi.
Biarkan senja kembali hilang dan berganti , biarkan bintang bertaburan sebanyak pasir pada pantai.
Biarkan kunang-kunang beterbangan tinggi tanpa bisa kita raih cahayanya.
Anggap saja semua itu mewakili betapa kita saling merindukan, betapa kasih sayang kita saling silang, dan betapa doa kita saling bersahutan.
Bayangkan betapa indahnya senja melintasi cakrawala, seindah itulah Ade menyayangi Ayah.
Bayangkan betapa banyaknya jarak yang terbentang dari garis pantai sampai persinggahan terakhir Matahari, sebanyak itupun Ade menyayangi Ayah.
Dan bayangkan betapa banyaknya pasir di sana, sebanyak itu pula kita pasti saling mendoakan, Yah.
Ayah, jaga diri Ayah baik-baik ya. Jangan lupa bawa payung, jaket, dan telepon genggam. Hanya sekedar mengingatkan, jangan banyak keluar rumah jika memang tidak terlalu penting. Jangan lupa kalau sudah tidak enak badan, minum vitamin Yah.

Teruntuk,
Laki-laki penyebab keberadaanku, laki-laki nomor satu dalam hidupku, laki-laki yang hati dan bibirnya selalu berdoa untukku, dan laki-laki yang kupanggil Ayah.
Dari,
Anak gadis yang begitu senang bermain kunang-kunang, anak gadis yang selalu mengamini doanya, dan anak gadis yang selalu dipanggilnya Ade, Nona, Putri, Sweetheart.
Selamat Ulang Tahun ke-48, Ayah. Sekarang, gantian aku yang akan selalu mengirim dan menggemakan banyak doa untukmu


#HariKesembilanbelas

Senin, 30 Januari 2012

Ketiga


Ketiga kalinya kuketikkan sebuah surat penuh kagum untukmu, Kak @adimasimmanuel
Dari yang tak pernah bosan akan semua tulisanmu….

Kuharap Kakak tidak bosan, jengah, kesal, atau apapun itu, saat menerima suratku. Kuharap juga aku bisa menahan diri untuk menjadikan ini adalah surat yang terakhir. Aku janji, ini surat yang terakhir yang akan kutuliskan untukmu, Kak. Atau mungkin hanya akan menjadi yang terakhir kukirimkan, meski bukan yang terakhir kutuliskan.
Malam yang indah kembali kita nikmati bersama didinginnya suhu puncak. Ini adalah tempat favoritku bersama sepupu-sepupuku. Puncak pas. Di mana semua cahaya yang berasal dari rumah-rumah penduduk yang ada di bawah sana, terlihat dengan jelas. Cahaya mereka yang berkilauan seakan menyatakan betapa bahagianya aku dapat kembali duduk di sisimu, meski untuk yang terakhir kalinya.
Niat bersikap seadanya, aku malah kikuk. Ya mungkin kikukku adalah seadanya aku. Kelirik kau sesaat, dan jantungku copot seketika. Lekukan wajahmu dari samping sambil melihat ke langit penuh bintang adalah hal terindah yang mematikan. Aku menunduk, entah mengapa seketika itu tanah di bawah terasa lebih menarik dari pada bintang di langit sana.
Aku mencoba menghirup udara dingin yang bersih. Tersangkut wangi tubuhmu. Tubuhku bergetar hebat, jantungku apalagi. Sampai detik ini, masih tidak masuk akal betapa aku bisa sangat merinding karena wangimu. Akan kuhafal dan kubawa pulang ke Jakarta. Ingat kan, ini pertemuan terakhir kita? Jadi biarkan aku menghafal wangimu dan kubawa pulang.
Aku mendongak. Ternyata bintang-bintang masih anteng di sana. Kakak tau kenapa di puncak dan pantai jauh lebih banyak bintang dari pada di bagian-bagian kota lain? Mungkin karena di sini gak ada polusi cahaya seperti di sana. Di sini gak ada gedung pencakar langit! Gak akan ada bintang yang enggan bermalam di sini. Mungkin gak kalau nanti kita sudah pulang ke kota kita masing-masing, kita bisa melihat bintang yang sama meski dilain tempat? Kuharap mungkin.
Kembali ingat bahwa ini pertemuan terakhir kita. Kamu tau apa yang lebih baik dari bintang malam ketimbang senja pada pantai Kak? Bintang malam memiliki waktu yang lebih lama dari pada senja pada pantai. Betul kan? Ya betapa pintarnya aku memilih pertemuan terakhir kita ini pada malam penuh sesak dengan bintang.
Sudah sejak lama aku mengagumi bintang, begitupun pada rangkain indah milikmu Kak. Sudah sejak lama aku merindu malam berbintang, begitupun pertemuan kita ini Kak. Dan sudah sejak lama aku ingin membawa pulang bintang-bintang itu seperti betapa inginnya aku membawa wangimu pulang ke rumah. Wangimu sudah kusimpan dan masih kunikmati sekarang.
Kutarik nafas panjang lalu kuhembuskan sepanjang jarak yang terbentang di antara kita. Kembali kuselipkan kedua tanganku pada ketiak, dingin. Kelirik kembali dirimu yang masih anteng mengamati ribuan bintang di sana. Aku hanya ingin tau apa isi pikiranmu saat ini. Apakah ingin tetap tinggal untuk beberapa saat, atau malah ingin segera kembali ke kotamu. Kuharap pilihan kedua adalah hal yang paling tidak kamu pikirkan Kak.
When You Love Someone milik Endah n’ Rhesa tetiba hadir menusuk pendengaranku. Entah datang dari mana, mungkin kotak musik Tuhan. Mari kita nikmati bagaimana irama demi irama mereka rangkai sampai menyejukkan hati. Petikan gitar ringannya membuatku terbang.
Tiba saatnya kita harus berpisah. Aku sudah ingat semuanya. Gerakanmu, wajahmu, wangimu, suaramu, dan semuanya. Hanya saja aku tidak dapat mengingat betapa bahagianya aku duduk bersisian denganmu di bawah senja pantai serta malam penuh bintang di puncak. Iya, yang kuingat dari itu semua hanyalah betapa bahagianya aku. Begitu saja sudah cukup bukan?
Secangkit cokelat panas, segenggam kehangatan, sepiring kisah romantis, dan sebuah pelukan hangat. Alasan yang mana yang membuatku ingin pergi? Alasan yang mana yang membuatku tidak nyaman? Alasan yang mana yang harus kuhapus? Aku, ingin tetap berada di sini, tak ingin kemana-mana.

Rasanya sangat enggan meninggalkan detik-detik indah ini.
Segini dulu surat kekaguman dan khayalanku Kak. Kuharap ini tidak membuat kamu benci, marah, kesal, atau apapun itu, terhadapku. Anggap saja ini surat cinta biasa. Boleh kamu sobek-sobek, atau kamu masukkan ke dalam botol dan kamu lempar jauh ke laut sana.
Dalam selembar surat cinta ini, kuselipkan jutaan kekagumanku
Dalam selembar surat khayalan ini, kuselipkan jutaan kehangatan
Dalam selembar surat cinta ini, kuselipkan jutaan kisah romantis meski tak seromantis kisah Bella dan Edward
Dan dalam selembar surat cinta ini, kuselipkan sepucuk janji untuk kembali hanya menjadi pengagummu, tanpa sebuah surat lagi

“I used to hide and watch you from a distance and I knew you realized
I was looking for a time to get closer at least to say...hello”

Tertanda,
Dari kehangatan senja pada pantai,
Annisa Fitrianda.
Teruntuk,
Diri sedingin malam hari di puncak pas,
Adimas Immanuel.


#HariKetujuhbelas

Sabtu, 28 Januari 2012

Kepada Waktu


Kepada jutaan detik, menit, dan jam yang telah berlalu tanpa hendak kembali…
Dari yang selalu menyesalimu, dan ingin kamu kembali lalu membeku…

Entah sudah berapa banyak hati yang menangisi betapa menyesalnya membiarkan sang waktu berlalu terlalu seenaknya. Betapa sang waktu berlalu tanpa mengenal kompromi. Entah sudah berapa butir angka yang bergulir tanpa mau berhenti pada jam analog kami. Entahlah….
Detik, entah sudah berapa kali kamu berkumpul lalu berubah menjadi menit. Pun sudah berapa kali menit berkumpul untuk kemudian menjadi jam. Kumpulan jam yang menjadi hari selalu kami lalui tanpa jeda. Ada kiranya kalian memberikan kami ruang, rehat sejenak, dan menata ulang serpihan kejadian yang berujung penyesalan.
Sudah 19 tahun aku menapaki bumi bundar ini. Tapi kamu tahu? Angka belasan yang tahun depan akan berubah dengan kepala dua, bahkan bukanlah waktu yang cukup untukku mengelilingi bumi bulat ini. Betapapun kulihat waktu hanya terdiri dari 12 angka dalam 1 putaran. Sangat berharga.
Aku yang beranjak besar bersama sepupu-sepupuku. Kami yang menata tahun-tahun emas kami bersama, kini sudah menapaki jalan setapak menuju cita kami. Tidakkah kamu lihat betapa kamu sangat sering melewatkan perkembangan kami satu sama lain? Tidakkah kamu iba melihat kami yang berkembang tanpa saling betul-betul mengenal satu dan lainnya?
“Waktu berjalan sangat cepat, bahkan terlalu cepat. Banyak moment yang sudah kita buat, lalu terlupa. Banyak kisah yang sudah tertinggal, sementara waktu tidak memberikan izin untuk kami mengambilnya, kembali”
Dengar kan? Sudah berapa juta hati yang menangis, hancur, lebur, tak terukur karena butiran-butiran waktu. Sudahkah kamu melihat ada berapa banyak butir airmata yang terjatuh karena menyesal? Menyesali waktu yang berjalan terlalu cepat. Pasti belum.
Aku, bahkan sempat menitikan setitik bening saat melihat sepupuku yang seumuran denganku, kini sudah menjemputku untuk pergi. Menyetiri kami. Lihat kan betapa banyak waktu yang telah lewat bahkan aku tidak tahu bagaimana jatuh-bangunnya dia belajar mobil.
Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang. Lantas bisakah aku mendaur ulang waktu-waktu tersebut? Bisakah aku membuang waktu-waktu berharga tersebut pada tempat yang tepat? Bisakah?
Satu pinta manusia yang sangat sederhana, “Bisakah aku kembali pada masa di mana semuanya tidak serumit sekarang? Lalu bisakah aku membekukan semua moment sederhana namun berharga itu?”
Detik, menit, jam…
Biarkanku pungut serpihan kalian, lantas kubawa pulang,
Biarkan kubekukan kalian, lalu kunikmati segala kesederhanaan kalian jengkal demi jengkal,
Dan biarkan kumulai kalian kembali pada masa terindah itu, biar kutata kembali langkah-langkah kecil agar tak ada lagi waktu yang tercecer….
Mau kah?
Kau kembali?
Memberikanku kesempatan?
Yang kedua?

Tertanda,
Yang meleburkan, membuangkan, dan memungut serpih demi serpih dirimu.
Teruntuk,
Detik, menit, jam, kembalilah…


#HariKeenambelas

Kamis, 26 Januari 2012

Kemarin


Kemarin, aku duduk berdua dengan seseorang. Kamu tahu siapa? Aku yakin pasti kamu kaget! Gardio! Orang yang selama ini selalu menemaniku dalam mimpi, orang yang selama ini selalu menyapa pendengaranmu melalui pengharapan-pengharapanku, dan orang yang paling sering hadir pada banyak khayalanku.
Sahabatku, kamu tahu aku dan Gardio duduk bersama di mana? Di pantai!! Pantai adalah tempat favorit kita kan? Tempat di mana kita paling sering berbagi cerita, berbagi tawa, serta tangis. Tempat di mana kita paling ingin pergi saat menangis sudah tidak lagi cukup.
Dan kamu tahu kapan aku dan Gardio duduk bersama? Saat matahari terbenam! Kamu tahukan betapa indahnya matahari terbenam? Kamu tahu kan betapa aku sangat cinta pada semburat oranye di kala itu? Dan kamu pasti hafal sekali betapa aku sangat mencintai cara matahari menghilang dari padangan kita.
Bisa kamu bayangkan betapa indahnya menikmati matahari terbenam di pantai bersama Gardio? Rasanya aku ingin berlari mengelilingi dunia, memelukmu seerat mungkin, dan kembali berlari bersama. Sangat indah!
Senja itu, aku yang membuka pembicaraan kami.
“Gardio, angin apa yang membawa kamu ke sini?”
“Apapun itu, satu yang ingin kutemui sudah duduk di sampingku sekarang, Nisa.”
“Aku? Kamu bercanda?”
“Biar matahari itu kembali naik kalau aku bercanda.”
“….”
“Kamu sendiri, apa yang membawamu ke sini?”
“Kerinduan.”
“Sesederhana itu?”
“Iya. Aku rindu pada pantai, matahari tenggelam, dan semua kenangan yang masih menggenang di dalamnya.”
“Siapa?”
“Sahabatku…”
“Oh si cewek yang selalu mengekormu itu?”
“Aku yang mengekornya, Gardio!”
Begitulah sepenggal pembicaraan kami.
Senja itu seakan berjalan terlalu cepat untuk kunikmati. Seakan matahari sedang dikejar deadline sehingga menghilang terlalu cepat. Memecahkan semua kedinginan dan kerinduanku.
Sahabatku, kamu tahu betapa seringnya aku berkhayal? Kamu tahu betapa seringnya aku bercerita tanpa henti? Dan kamu pasti tahu betapa aku sangat mencintai Gardio.
Tapi kenapa? Kenapa dia justru hadir disaat kamu telah pergi jauh. Kenapa dia tidak hadir disaat kamu masih ada untuk selalu mendengar dan mengamini semua ceritaku. Kenapa?
Aku masih ingin bercerita histeris padamu. Aku masih ingin tertawa banyak denganmu. Dan cerita-ceritaku masih ingin diamini oleh bibir tipismu.
Sahabatku, jika aku memanggil namamu, akankah kamu ada lagi di sini? Di sampingku, memasang kuping dan hatimu, lalu bersiap kembali mengamini semua tutur baik yang terlontar dari bibirku? Kuharap iya.

Biarkan bintang kembali mengalung malam
Ombak kembali berdersir, menaikkan bulu kuduk
Ada kiranya kau mampir, lantas kita bersama duduk

Tertanda,
Nisa,
Sahabatmu, senjamu, pantaimu, dan kesayanganmu,
Salam rinduku, cintaku, pelukku, ciumku untukmu Sahabatku…


#HariKetigabelas