Halaman

Minggu, 01 Februari 2015

Kepada Kita

Kamu dan aku pada suatu hari,

Di antara rak supermarket itu, kamu akan mempertanyakanku mengapa membeli produk pembalut yang ini dan bukan yang itu. Mengapa bukan yang warnanya merah muda seperti kesukaanku. Mengapa tidak yang tidak ada sayapnya.

Di antara rak sayur mayur, kamu akan mempertanyakanku mengapa bukan cabai yang besar, panjang, dan merah menyala? Mengapa malah cabai yang kecil dan tidak merah. Mengapa bukan tempe yang dibungkus plastik dan malah yang dibungkus daun pisang.

Meski begitu, kamu tetap tak protes dengan trolli yang kupinta untuk kamu jaga.

Di antara rak buku itu, kamu akan kembali mempertanyakan mengapa bukan buku karya si a yang terkenal dan malah buku si b yang ada di rak bagian paling bawah. Mengapa bukan di rak buku paling laris, tapi malah di rak yang entah ada di sebelah mana itu.

Di antara rak alat tulis itu, kamu akan terus bertanya mengapa bukan memopad yang ini dan malah yang itu. Mengapa bukan penghapus yang hitam dan malah yang putih. Mengapa bukan spidol yang satu paket dan malah yang dijual terpisah. Mengapa bukan penggaris yang sekali panjang, dan malah yang bisa dilipat.

Meski begitu, kamu tetap asyik menemaniku sampai kasir.

Kamu dan aku pada suatu hari,

Kita akan duduk entah untuk berapa lama, menikmati denyut jarum jam. Mungkin sampai bolu marmer kita mengembang. Atau sampai suara penjual bakpao kesukaan kita, yang sudah kita nanti-nanti sejak berminggu-minggu, melengking dan membuat kita lari kalang-kabut untuk mencegatnya, sampai rasanya susah sekali memutuskan siapa yang lari mengejar tukang bakpao, siapa yang ambil uang untuk bayar. Atau mungkin sampai ceret mendesis karena kita terlalu lama memanggangnya. Atau, hanya sampai kita berhenti jatuh cinta dengan hening ini.

Kamu akan mempertanyakan mengapa hari ini aku hanya sibuk memandangimu, tersenyum, menyisir rambut klimismu dengan jemari gendutku, lalu mengatakan, “Hay, aku sayang kamu.” Kamu akan mempertanyakan mengapa aku tak merajut mimpi dan merentang rencana untuk kita di hari esok atau di hari entah kapan. Dan aku akan menjawab, “Sudahlah. Hari ini singkat. Hari ini aku ingin kamu tahu betapa aku mencintaimu. Karena segala angan dan asa itu sudah dan akan kupikirkan saat kita berjarak, Kasih.”

Kamu dan aku pada suatu hari,
Akan rebah di padang ilalang. Merasakan detak langit, denyut tanah. Merasakan bisikan angin, goresan rumput.

Dan,
Kepada kita pada suatu hari itu,
Nikmatilah. Jatuh cintalah. Mencintailah. Dicintailah. Karena masa lalumu telah berjuang setengah mati demi berhenti takut diabaikan.

Dari,

Aku di masa lalu kalian.