Halaman

Sabtu, 27 April 2013

Taman Kota

Deru kota semakin menggebu,
Seakan memburu sesuatu padahal hanya abu.
Berisik kota terpusat pada pusaran ramai di sana,
Gemerisik hujan sekali-kali bergubah di pusaran fana.

Langkah-langkah kaki manusia memegahkan tiap-tiap gugah yang membuncah dari dalam dada,
Langkah gontai seakan merantai tiap kaki pada bangku-bangku taman,
Mereka, melangkah bagai telah tertakdirkan.

Gemerlap malam seakan tak pernah mati di sana,
Gelagap hujan seakan selalu derai di sana,
Gempita matahari terus mengeringkan dedauan hingga gugur,
Di sana, miniatur kehidupan itu berputar,
Di taman kota.

Beranda

Kini meja itu kosong, halaman itu melempem. Hanya jejak-jejak tawa dan senyum yang belum sempat dibersihkan masih tertinggal. Bahkan ini berarti begitu besar bagi mereka. Tawa yang dulu mereka rajut bersama, menghangatkan kala perang dingin melanda.

Mata itu masih basah, jemarinya semakin keriput kedinginan diterjang banjir dari kedua mata indahnya sendiri, tapi hatinya masih belum bisa tenang. Segalanya seakan berjalan terlalu cepat, kehidupan memiliki kaki dengan tahi lalat di mana-mana, sementara untuk sekadar menyamakan langkah saja, hatinya masih terlalu berat. Langkahnya masih tertahan. Pada beranda tua di rumah tua, yang membungkus kisah muda mereka dan menyimpannya pada masa tua. Kini, ia menghadapi masa tua itu sendirian di beranda.

Dengan nafas tersengal, ia mencoba menata kenangan mereka satu per satu. Buku-buku berdebu, tawa-tawa usang, pelukan-pelukan lusuh, tatapan-tatapan yang telah lama sekali tak mereka rayakan dengan saling pelukan dan mengucap kehangatan dengan kecup.

Matanya kini hanya lebih sering menatap kekosongan. Kursi yang kosong, sisi ayunan yang kosong.
Jemarinya kini lebih sering menggenggam kehampaan. Sampai akhirnya memilih menangkupkan telapaknya ke wajah.
Hatinya,
Hatinya kini hanya lebih sering merindu. Merindu kehadiran seseorang pada kehidupan yang menyajikan ketiadaan baginya.
Hatinya kini hanya lebih sering meratap. Meratap nasibnya sendiri, yang kini hanya menetap.
Hatinya kini hanya lebih sering memeluk. Memeluk kata-kata yang tak berhasil ia ucap dan kini terbahasakan dengan airmata.

Matahari sudah pergi dari pelukan perut bumi,
Daun telah menemui ujung kehidupannya pada ujung ranting-ranting,
Jejak itu masih rapih, kenangan mereka menjaganya agar tak terhapuskan,
Tubuh itu meringkuk kedinginan, lengannya memeluk kedua kaki dengan penuh kepedihan,
Sinar matahari menusuk rusuk-rusuk belakangnya, menyadari seseorang telah tinggal cukup lama pada salah satu bagiannya,
Aku, hanya bisa memandang, merasa, dan kaku,
Akulah kehampaan itu.