Halaman

Sabtu, 26 September 2015

Kita yang Tidak

Mungkin aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela pergi ke minimarket untuk beli pembalut.
Mungkin aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela berbohong bahwa rumah kita searah padahal rumahku di Timur, rumahmu di Barat.
Mungkin aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela bangun pagi demi menerjang macet Jakarta yang aduhai.
Mungkin, Kasih, aku hanya perempuan entah siapa yang rela buatmu nyalakan keran di pagi buta agar tampak tampan.

Ini klasik, Kasih.
Kisah yang didamba siapa saja.
Kisah yang dikhayalkan pada jeda di setiap hari.
Kisah yang diindahkan sebelum otak belum betul-betul lelah lalu lelap.

Kau tak akan pernah paham betapa aku ingin.
Kau tak akan pernah padam dari berapa yang kuhitung sampai malam mendingin.
Kasih, kau tidak akan pernah paham.
Bahwa sampai kapanpun, kau tak akan pernah padam.

Meski kau rela carikan pembalut sampai ke Kutub,
Namun aku tak berhasil buatmu rela cairkan hati sampai Kutub tutup.
Meski kau rela searahkan rumah kita,
Namun aku tak berhasil buatmu searahkan hati kita.

Mungkin aku memang perempuan entah siapa dari mana yang berhasil buatmu berjuang begini dan begitu di padatnya lalu lintas yang menyebalkan.
Namun, agaknya, Kasih, aku tak berhasil buatmu berjuang terlepas dari Rosariomu.

Kepada, dada yang berkalung Rosario.
Dari, dada yang berkalung kerudung.


Senin, 14 September 2015

Akhir Pekan

Ingar-bingar dunia luar tak turut datang.
Sore berganti malam tanpa perayaan kenangan.
Tak tampak satu dua bintang.
Namun lampu kota menembus menjadi gemintang.

Kasih, seandainya ini malam kita.
Seandainya ini malam entah kapan.
Seandainya ini malam... malam yang sedang kita rajut...
Seandainya... tak perlu kata yang seadanya.

Adamu, adaku, seakan cukup.
Meski barangkali, waktu segera kuncup.
Adanya kita, sepertinya ilusi.
Apalagi jika kata yang hadir dari delusi.

Selamat berakhir pekan, Kasih
Semoga pekan ini kita tak berakhir.
Karena, toh kita tak pernah memulai.
Sampai sajak-sajak ini memuai
.

Kepada, yang berada entah di mana.
Dari, yang sedang duduk di pinggir kolam renang.

Kecoa

Malam ini ia datang lagi.
Laki-laki itu bertamu, dan aku tak ingin ia pergi.
Tawanya buatku terjaga hingga pagi.
Kisah dan kenang kami bagi.

Suatu hari, Ibu bertanya, seberapa jantankah dia?
Jangan terbuai jika hanya berbagi ceria.
Sudahkah kutahu apa yang ia takuti selain Tuhan?
Jangan saja terlena dengan gombalan akan terus bertahan.

Bukan Ibu namanya jika diam saja.
Sekali waktu ia teriak dari ruang beraroma tinja.
Kutahu pasti ia memancing lelakiku yang bersahaja.
Dengan langkah besar-besar, ia masuk seakan pahlawan berpakaian baja.


[]  Setelahnya, ada teriakan yang tak kalah kencang dari milik Ibu. Ibu bercerita, "Dia terpaku saat melihat si cokelat terjengkang. Tapi kamu seharusnya lihat ekspresi dia saat ada temannya yang terbang. Kamu kenal si Doni yang malamnya jadi Jeng Dian? Wajahnya kalah mengerikan jika dibandingkan dengan lelakimu! Mau ajak siapa lagi? Ibu masih banyak stok yang terjengkang dan yang akan terbang."


Gagang

Pertanyaan yang sama selalu saja mengawang.
Air lagi, sabun lagi, aduh, Bang!
Tiap Ibu teriak, aku lari tunggang-langgang.
Masalahnya, kamar mandi ini hanya sebesar gang!

Ya meski air membasuh tengkuk yang tegang.
Tapi ia juga buat aduh si luka di pinggang!
Rasanya ingin banting saja yang kupegang.
Air mengalir dari mulutnya yang menganga bagai gerbang.

Tanganku ingin berhenti memegang.
Biar sajalah jenuh ini meregang.
Biar sajalah aku lari tunggang-langgang.
Yang penting tak lagi bertemu si gagang.


[] I Tag You from Suhail Syaiful Rahman to me.