Pada
air mata yang menggenang, malam terus mengenang. Kisah lalu terbang bagai
bumerang. Entah kembali karena dilempar, atau memang sebetulnya ia belum pergi
ke mana-mana. Lagu lalu mengalun mengiringi aku yang melamun. Di pinggir kusen
lusuh yang sebentar lagi rapuh digerogoti rayap rakus, aku memandang kawanan
kunang yang mengerjap terbang ke sana kemari. Kepalaku segelap malam. Kenang
kita seterang kunang. Jika ada pilihan tenggelam, aku menyesal dulu belajar
berenang. Jika ada pilihan berhenti, aku menyesal tahu caranya memulai. Jika
ada pilihan tak sayang, aku menyesal pernah kenal.
Setelah
malam itu, segalanya berubah. Hari seakan lebih menyukai gelap dibanding terang.
Matahari selalu datang kesiangan. Langit suhunya tak pernah turun. Gelegar
petir di sana sini. Kelakar angin memekakkan telinga. Tubuh gaia tak pernah
kering, nyaris terlalu basah. Ingin sesekali melihat langit seperti dulu.
Secerah senyummu. Sehangat keningku sesaat setelah kaukecup. Sedingin suaramu
yang merajuk pada saluran telepon jika lama tak bertemu. Seindah pantulan kita
dengan mulut penuh busa pasta gigi pada cermin. Selucu gengsi kita yang
akhirnya pergi perlahan sesaat setelah pitam mulai turun.
Ingatan
melayang pada hari pertama saat tangan kita berjabat. Di sana tanganku merekam
telapak tanganmu yang kasar dan kapalan. Kemudian suara berat khas perokokmu
menyebutkan namamu perlahan. Telingaku merekam namamu, mengingatnya tak sulit,
beda perkara dengan melupakannya. Selanjutnya suaramu menyemburkan namaku satu
detik setelah aku menyebut namaku. Saat itu segalanya berubah. Aku jatuh cinta
pada caramu menyebutkan namaku. Aku meleleh ketika telapakmu menyentuh kulitku.
Jangan
tanya mengapa, karena aku tak punya jawaban. Jangan tanya bagaimana, karena aku
tak pandai merangkai. Jangan tanyakan lagi apa-apa, karena aku sedang
terbata-bata.
Aku
hanya bisa. Aku bisa mengingat segalanya. Bahkan saat kita berbaris keluar
kereta, aku masih ingat irama detakmu. Musik terindah. Aku bisa mengenali
segalanya. Langkah kakimu, suara berdecit yang ditimbulkan karet dan ubin.
Detakku akan langsung berdentam tak keruan. Aku bisa juga jatuh. Jatuh hati
yang tak terperi sakitnya. Seperti apa yang sudah tertulis, jatuh maka aku
hancur.
Berkeping-keping.
Di
bawah meja makan itu, dengan aroma tempe goreng dan sambal terasi kesukaanmu,
Kepingan
hatiku menemukan diri mereka, lalu merapatkan diri,
Sampai
lampu di atas meja dimatikan, decitan tikus kembali menghancurkannya lagi.
Esok
pagi, saat melihat kue bolu pandanmu tercuil sedikit, hatiku kembali merasakan
kehampaan.
Kehampaan
yang panjang.
Kepada yang ada
dalam kenang,
Dari yang tak ingin
kaukenang.