Halaman

Senin, 27 Agustus 2012

Ingkar


Semilir angin memainkan rambut panjangku. Dedaunan yang gugur memainkan perasaanku. Waktu terus berjalan, bahkan berlari.

Entah sudah hari keberapa aku terduduk pada halte ini. Menanti sebuah janji yang dia ucap beberapa ratus hari yang lalu.

Semuanya telah pergi, menua, mengering. Termasuk janji itu. Seharusnya kusadar, janji itu telah hanyut bak pasir di laut luas sana, bahkan sebelum terucap.

Tapi entah, aku masih betah. Duduk, dipermainkan waktu, ditusuk kenyataan. Mau berjalan pun langkahku gontai.

Kini semuanya telah jelas
Hati ini pecah seperti gelas
Ternyata hadirnya hanya sekilas
Kini semuanya bias

Selasa, 14 Agustus 2012

Pulang


Aku lupa kapan terakhir kali aku merasakan hangatnya. Hangat nafasnya, hangat kulitnya, hangat ucapannya, hangat belaiannya. Aku lupa.

Aku lupa kapan terakhir kali merasakan kebahagiaan yang tak terbendung sehingga airmata akhirnya berbicara.

Kini, di tengah ramainya nama Allah berkumandang dengan indah di langit kota Jogjakarta, aku melangkah dengan gontai.

Aku takut. Takut ketika sampai di sana, aku tak kuat menahan airmata ini. Takut jika beliau tahu bahwa aku tak sekuat yang dikiranya.

Di sana, dirinya berdiri di ambang pintu. Melihatku dengan penuh kehangatan. Senyumnya adalah surga terindah untukku. Dan bibirnya bergetar seakan dicambuk berkali-kali.

Tak kuasa, aku menangis.

Aku rindu.

Pada Ibu.

Kini, aku telah pulang. Pulang ke pelukannya. Kembali merasakan hangatnya pelukan ini meski semilir angin menggerakkan dedaunan. Kembali merasakan kulitnya yang mulai keriput tapi tetap menghangatkan. Kembali merasakan belaiannya.

Sambil mendengar nama Allah tersebut begitu agungnya, aku masih memeluknya, merindunya, mencintainya.

Aku pulang.

Friendzone


Tik tok tik tok. Di ruangan sepi ini, kurasakan suara detik menusukku perlahan. Menantikan ponsel itu berdering dengan display name seseorang. Samudera. Menantinya menghubungiku seperti menantikan kiamat datang.

Kutengok lagi, kosong. Tak ada Samudera di sana. Kutahu ini terlalu premature untuk rasa ini. Aku sadar, aku tak seharusnya mengharap terlalu tinggi. Tapi aku telah jatuh terlalu dalam, tergelincir, tak tertolong. Dalam-dalam, di mata hitamnya.

Bahkan setelah kutahu, Samudera tak pernah menjamah perasaanku yang telah tumpah ruah berantakan. Aku tahu betul bukan aku orangnya. Samudera masih di sini, duduk di sisiku, dengan mata yang jauh menerawang, menantikan kehadiran hati yang lain.

Kata orang, sekarang sedang zamannya friendzone. Aku, korbannya.

Salah sendiri, berharap terlalu banyak, jatuh terlalu jauh, sampai aku lupa harus kembali ke mana. Lupa harus beranjak ke mana.

Lupa? Salah. Aku tak mau. Aku tak mau pergi. Aku masih berharap, ponsel itu akan berdering dengan nama Samudera di sana. Aku masih berharap aku berada di pelukannya, bukan di sisinya. Aku masih berharap, matanya terfokus padaku, bukan menerawang jauh.

Semuanya selesai. Alih-alih berjalan lebih jauh dengan tangannya di genggamanku, malah kekosongan yang menggenggamku erat. Berharap dapat tertawa bersamanya, malah aku sekarat ditertawakan harapan.

Harapan melambung, kenyataan menyusut.

Aku menari di hadapannya, matanya tetap lurus menerawang

Ini kita,
Dua dekat,
Yang tak saling ikat

Sabtu, 11 Agustus 2012

Beda, Tetaplah Beda


S: kamu pikir, bertahan untuk tak pernah memelukmu adalah hal yang mudah?

N: aku pikir itu bukan hal yang harus kamu tahan, tapi yang harus kamu penuhi

S: aku mencintaimu sepenuh hati, sudah pasti aku ingin bisa memelukmu, untuk memenuhiku

N: memeluk bukan simbol menjaga. Ya setidaknya jika mencintai yang kamu maksud tadi ya begitu

S: entah sudah yang keberapa kalinya, tapi aku begitu jatuh hati pada caramu membaca pikiranku

N: aku bukan kamu yang masih bertanya apakah barusan hujan saat melihat jalanan basah

S: Nivida, ayolah kamu selalu tahu maksudku

N: Samudera, aku gak suka basa-basi. Cukup deh

S: tapi toh seberapapun aku sering berbasa-basi, kamu tetap gak lepas mencintaiku, kan?

N: gimana bisa aku berhenti mencintai kamu hanya karena basa-basi gak penting? Kamu tahu betul bukan itu poinnya

S: oke. Aku, hanya ingin memelukmu, sekaliii saja. Ingin merasakan kehidupanku dalam degup jantungmu

N: Samudera, sudah berkali-kali kukatakan, seberapapun banyaknya aku jatuh hati padamu, aku bukan hidupmu.

S: dengar, jika Rosario milikku yang menjadi pemisah kita, aku bosan membahas ini, Nivida. Tak ada jalan keluar yang bisa kita tempuh. Setidaknya jalan keluar yang bisa kita lalui bersama sambil berpegang pada rantai yang sama

N: maka, aku bukanlah kehidupanmu. Di sini, di dadaku. Degup jantungku telah berjanji untuk selalu mendegupkan nama Allah setiap saat. Bukan kita. Bukan kamu. Bukan aku. Bahkan kehidupan ini juga bukan milikku, Samudera

S: lalu sekarang beri aku satu alasan kenapa kamu masih di sini, menenggelamkanku di matamu, mencintaiku dengan penuh, dan tak membiarkanku pergi

N: aku tak punya. Maaf

S: jika kelak memperistrimu adalah sebuah dosa besar, maka aku adalah manusia pertama dan terlama yang akan masuk Neraka Tuhan. Bahkan kuyakin Tuhan tak mau menebuskan dosaku yang ini

N: maka jangan. Jika aku membuatmu melupakan Tuhanmu, maka aku bukanlah yang baik untukmu

S: lalu sekarang apa?

N: baiknya kita berpisah. Keluar melalui jalan yang beda. Jika kelak kita bertemu dengan rantai yang sama di tangan kita, maka aku berjanji akan menerima pinanganmu

S: kelak? Tapi bagaimana jika kamu telah menikah?

N: maka kamu harus cukup tahu diri untuk tak menagih janjiku

S: sialan! Aku masih terlalu mencintaimu, Nivida

N: Samudera, berhenti

S: maaf. Aku gak sekuat kamu, yang bisa selalu menahan hasrat mencintaiku atau sekadar membohongi diri sendiri bahwa kamu tak ingin memelukku. Kutahu betul itu

N: belum ke Gereja?

S: kamu aja belum sholat Zuhur

N: hey, aku sedang datang bulan

S: oke. Aku ke Gereja sekarang. Tapi janji, selepas aku pulang beribadah, kamu akan angkat telponku?

N: iya!