Halaman

Senin, 14 Desember 2015

Belajar Menyerah

Mulia, apa dan bagaimana itu menyerah?

Jam dinding itu berdentang lagi. Kali ini dentangnya hanya sekali. Pukul 12 tengah malam. Tepat. Dan benakku masih bekerja keras pada titik bifurkasi itu, antara terus merajut khawatir akan ia, atau menyerah saja tidur dengan sebongkah batu es di dalam dada.

Aku masih mengeja hari-hari itu. Sesekali segalanya tampak manis, sesekali esok terasa kian mustahil. Napasku terhela keras. Lelah sekali, Mulia...

Aku lelah terus mengeja yang telah. Mungkin aku tampak kokoh, namun rasanya aku renta dan tergopoh. Bisakah sekali saja, segalanya terasa pasti tanpa eja. Walaupun, rasanya betapa pengecut diri ini jika selalu berharap yang pasti padahal ketidakpastian ialah sebaik-baiknya pecut.

Mulia, apa dan bagaimana itu menyerah?

Entah telah dikutuk siapa atau apa, namun aku belum pernah merasa kepedulian menjadi sesakit ini. Entah karena zaman atau karena aku saja, namun rasanya malu sekali menjadi yang paling peduli, lagi paling cerewet menanyakan ini dan itu. 

Belum, Mulia, aku belum pernah merasakan mencoba meraih seberat ini.

Dan aku mulai mendamba hidup dalam ketidakpedulian. Karena, percayalah, kepedulian ini mulai terasa begitu menyesakkan.


Jadi, Mulia, tolong ajari aku untuk menyerah? Karena rasa lelah ini mulai melelahkan, Mulia......