Mulia, apa dan bagaimana itu menyerah?
Jam dinding
itu berdentang lagi. Kali ini dentangnya hanya sekali. Pukul 12 tengah malam.
Tepat. Dan benakku masih bekerja keras pada titik bifurkasi itu, antara terus
merajut khawatir akan ia, atau menyerah saja tidur dengan sebongkah batu es di
dalam dada.
Aku masih
mengeja hari-hari itu. Sesekali segalanya tampak manis, sesekali esok terasa
kian mustahil. Napasku terhela keras. Lelah sekali, Mulia...
Aku lelah
terus mengeja yang telah. Mungkin aku tampak kokoh, namun rasanya aku renta dan
tergopoh. Bisakah sekali saja, segalanya terasa pasti tanpa eja. Walaupun,
rasanya betapa pengecut diri ini jika selalu berharap yang pasti padahal
ketidakpastian ialah sebaik-baiknya pecut.
Mulia, apa dan bagaimana itu menyerah?
Entah telah
dikutuk siapa atau apa, namun aku belum pernah merasa kepedulian menjadi
sesakit ini. Entah karena zaman atau karena aku saja, namun rasanya malu sekali
menjadi yang paling peduli, lagi paling cerewet menanyakan ini dan itu.
Belum,
Mulia, aku belum pernah merasakan mencoba meraih seberat ini.
Dan aku mulai
mendamba hidup dalam ketidakpedulian. Karena, percayalah, kepedulian ini mulai terasa begitu menyesakkan.
Jadi, Mulia, tolong ajari aku untuk
menyerah? Karena rasa lelah ini mulai melelahkan, Mulia......