Halaman

Senin, 30 April 2012

Hilang


Hay...
Mungkin sudah ada beberapa untai kata yang kuucap agar kau tahu betapa hati ini begitu ingin menjadi rantai harimu.
Ada malam yang tak tersentuh oleh kita. Ada pagi yang datang terlalu dini. Mungkin kamu terlalu terburu mengambil keputusan. Atau aku yang terlalu cepat pupus.
Tak sadarkah kamu akan hari yang telah kita lalui bersama? Akan malam yang telah kita sulam bersama? Atau jarak yang telah kita gulung bersama dengan adanya untaian indah ini?
Apa? Bukan jarak?
Lantas?
Traumamu? Atau dia yang hidup pada masa lalumu lantas kini masih nyaring pada hari-harimu?
Kalau begitu ada kiranya kau maafkanku yang mengambil kesimpulan kacau dan terlalu cepat. Hatiku tak henti meracau kala kau pecut aku dengan itu semua.
Aku belum berani muncul pada permukaan. Masih begitu banyak yang harus kutata ulang, kuperbaiki, dan kubawa kembali. Nanti.
Jika memang hanya tersisa jarak dan kata diantara kita, ada baiknya tak kau cari diriku untuk sementara.
Ini terlalu cepat dan sakit.
Mungkin besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Mungkin kamu bisa bilang ini bukan yang kau mau, tapi ada baiknya semua seperti ini sekarang. Agar tak ada lagi hati yang terluka, dan tak ada lagi hati yang tak enak karena telah melukai.

Salam,
Dari yang jauh nyaring menangis dalam diam,
Afp
Untuk yang tak pernah serius,
Ns

Kamis, 26 April 2012

Jarak? Lagi?


Pernah gak kamu berpikir betapa sebetulnya kita ada pada tempat yg sama, berdiam pada tempat yang sama dengan pikiran yg juga sama, 'kamu'.
Aku tau kita sebetulnya sama-sama tau tentang rasa ini. Tapi lantas kamu menghindar, pura-pura tak tau, dan aku menunggu tanpa ada tanda-tanda akan jawabanmu.
Tak ada satu janji pun yg pernah kau ucap, hanya saja aku terlalu tersihir akan ucapanmu. Sempat berusaha tak mampir, tapi nyatanya aku gagal. Hanya sekilat bahagia yang terpercik. Ada kiranya kita duduk berdua, menata semuanya dari awal, kalahkan jarak ini, Sayang.

Terimakasih telah menyihirku dengan rentetan kata jahil, aku suka
Kumohon, akui keberadaan rasa ini sedetik saja, lalu pikirkan apa yang sebetulnya sama-sama kita butuhkan
Aku adalah rindu yang kau sangsikan
Dan kamu adalah jarak yang aku sayangkan

Dari yang telah kalah oleh jarak,
Afp
Untuk yang memenangkan jarak,
Ns

Twitter


Twitter.
Twitter brought happiness, and when it’s getting annoyed, don’t blame it, Nis ~ Mursyid
I’m not blaming twitter, I blame people in it ~ Me

Bukan. Bukan twitternya. Tapi kamu dan semua kicaumu. Tapi aku dan semua gengsiku.
Aku benci pada setiap tulisanmu. Pada setiap tulisanmu yang jahil. Pada setiap tulisanmu yang romantic. Aku benci pada semua itu jika bukan aku penyebabnya. Aku benci menerka, lalu jatuh, dan sakit tanpa sebab.
Entahlah.
Aku bisa menjadi begitu jatuh hati pada tiap rangkaian huruf itu. Seakan semua menari, bercerita, dalam diam. Seperti kita yang telah lama terdiam pada tempat yang sama. Aku tahu kamu ada di sana. Memperhatikan, membaca, lalu meninggalkan tanpa jejak.
Rasanya ingin menuliskan namamu dengan penuh perasaan, tapi jika tolakan yang hanya akan kudapatkan, untuk apa? Pergilah kehatimu, di sana kamu pasti menemukan sebabku terdiam, merindu, sakit, dan jatuh.
Memang, kita harus segera bertemu. Bertemu untuk kuhafal wangi tubuhmu sejenak. Bertemu untuk kuhafal raut wajahmu saat gelisah. Bertemu untuk menghafal sentuhan lembutmu saat aku dilanda kepayahan. Dan bahkan mungkin bertemu untuk menyudahi semuanya

Cinta bisa patahkan jarak
Dia bisa terbangkanku tanpa gerak
Pun bisa buatku bungkam mendadak
Tapi satu yang dia tak bisa,
Buat kita bertemu dengan jarak yang membentang tanpa ampun

Rabu, 25 April 2012

Jarak?


Ini aneh. Semua yang ada diantara kita, selain jarak, semuanya aneh. Awal yang tak baik dariku, berakhir dengan tak baik darimu. Kurasa sudah bukan masanya lagi aku menangis pada pertengahan malam, memikirkan apa yang telah kudengar, kubaca, kurasakan. Panas. Nanar.
Aku terlambat.
Terlambat mengetahui bahwa betapa diri ini sulit berlari tanpa pikirkanmu dalam benak, dalam-dalam. Terlambat tahu bahwa apa yang telah kita lewati, bukan hanya sekedar ‘sekedar’. Pun terlambat tahu bahwa yang ada diantara kita hanyalah sebatas tulisan.
Mungkin ketidak romatisanmu adalah hal paling romantis yang pernah hinggap, singgah, menetap pada hati dan pikiran ini. mungkin juga kejahilanmu adalah hal paling berkesan yang menyisakan goresan kecil, namun penting. Dan mungkin ketiadaanku adalah yang paling membuat hatimu lega tak terukur.
Menjauh.
Merubuhkan pertahanan perasaan ini, tapi justru menjadikannya semakin kuat. Jika kukatakan ini semua akhir dari kita, yang bahkan sama sekali belum dimulai, maka ini merupakan awal dari asam garam, seperti menaburkan garam pada luka, begitu kata orang.
Pernah dengar, “Menjauhlah jika kau bisa. Tapi ingat, berusaha sekuat tenaga melepas perasaanmu sama seperti berusaha memperkuatnya.”
Atau mungkin yang satu ini, “Terkadang dua insan perlu jatuh terpisah agar tahu betapa mereka akan lebih baik jika jatuh berdua.”
Agaknya kita memang tak cocok. Aku setuju dengan keduanya, tapi kamu malah menyangkal.
Ah iya aku paham. Jarak. Tapi bisakah aku menang dari jarak? Anggap saja satuan jarak ini sama seperti satuan rasa sayang, rindu, dan inginku berjumpa denganmu. Jangan peluk jaraknya, peluklah aku agar tak sisakan kerak pada pipi.
Aku sadar seberapapun aku merindumu, sebanyak itupun kau tolak aku. Pun seberapa banyak jarak yang terbentang diantara kita, sebanyak itupun aku merindumu.

Kuharap jarak mengerti, biar kugulung dirinya tuk tenangkan hati
Aku tahu kita tlah jauh sedari awal, tapi apa kamu tak percaya dengan hati kita yang mengawal?
Berhentilah sejenak, tenangkan jarak, peluklah aku dengan erat gerak

Untuk yang sejauh menghempaskanku dengan jarak,
NS
Dari yang jauh terkalahkan oleh jarak,
AFP

Senin, 02 April 2012

Naif


Masih pada malam yang sama. Masih pada hati yang sama. Dan masil pada langkah yang sama. Seperti ada visual yang berulang-ulang pada pikiranku. Menayangkan betapa indahnya sorotan mata itu. Betapa manisnya kegugupan merias wajahmu saat mata kita bertabrakan.

Kaki ini kembali berhenti pada taman besar beratap bintang dan bertabur jutaan rahasia alam semesta. Ada kiranya kau hadir, duduk di sampingku, dan kembali menggetarkan hatiku. Ah sudahlah, kamu pasti sedang tertidur pulas pada kasur empuk di balik pintu kamarmu.

Kepalaku menengadah. Bukan. Bukan karena penasaran pada jutaan bintang di atas sana. Tapi sedang menahan airmata. Airmata yang terjatuh karena akhirnya mengetahui hal paling menyakitkan seumur hidupku, ternyata kamu sudah ada yang punya. Sudah ada hati yang beruntung yang bisa saling mengisi dengan hatimu.

Betapa malangnya aku. Aku yang baru beberapa hari bertemu denganmu, aku yang merasa aku lah satu-satunya yang membuatmu salah tingkah, dan aku yang berdiri di depanmu, tersenyum, dan mencari celah matamu berharap semua akan berakhir indah.

Tahun 2012 dan aku masih senaif itu. Kutundukkan kepalaku, tanda bahwa aku mengizinkan airmata ini keluar sesukanya. Seperti sudah tak peduli dengan semua yang akan memandangku penuh tanya atau bahkan menuduh. Biarkan apa kata mereka. Aku hanya ingin menangis sekencang-kencangnya.

“Menangislah selagi itu masih membuatmu lega dan lebih baik”

Harapan yang terbang tanpa sempat hadir, mengawang tanda takkan mampir
Mata yang kembali bersinar tanpa pendar, mungkin akan nanar jika senyummu pudar
Langkahmu kembali menggetarkan, ada kiranya pandangan kita saling tukar
Seginikah nyalimu menyala? Mataku masih menyelamimu, dalam-dalam
Malam ini, ada yang diam-diam berdoa agar masuk dalam kehidupanmu, dalam-dalam