Halaman

Senin, 15 Oktober 2012

Puisi Pagi Hari


Sinar matahari perlahan menerpa wajahku. Semilir angin terbangkan mimpiku. Pagi ini, aku masih terpaku pada bayangmu. Pagi ini, aku masih terduduk pada kursi goyang penuh kenanganmu. Aku, tak pernah ingin mengembalikan dirimu yang dulu. Karena rasa ini, ada hanya karena adanya dirimu.

Jalanan masih sepi. Daun-daun berguguran di tepi. Aku mematung untung sekadar nikmati. Sinar matahari hangat bersama angin menyelimuti. Nafasku tertahan, kemudian terhembus seakan terapi. Langit ini masih tenang, langit ini masih dibingkai dedaunan yang siap segera gugur dan menepi.

Bayangmu muncul lagi. Semua dedaunan seakan berubah menjadi wajahmu. Semua oksigen seakan berubah menjadi wangimu. Hamparan langit luas seakan berubah menjadi bahumu, yang membelakangiku. Jalanan yang membentang panjang bak sajadah ini seakan berubah menjadi segala ketidakmungkinan untuk kita.

Ah wangi kopi menamparku. Aku masih terduduk pada halaman belakang rumah ini. Tanaman-tanaman itu sedang asik menari bersama embun dan sedikit sinar matahari, mengolokku yang masih betah merantai diri pada diri kita yang dulu. Tumpukan buku filsafat tak buatku terdistorsi akan kita.

Hai, adakah kamu akan kembali lagi?
Adakah kamu akan kembali dengan segala yang ada di dirimu saat ini?
Adakah aku salah untuk tak mengharapkanmu berubah seperti sediakala, di saat segala ketidakmungkinan ini membentang luas karenamu?
Well, selamat pagi, sayang.

Selamat Tinggal, Hujan


"Hai, selamat bertemu lagi.
Aku sudah lama menghindarimu.
Sialkulah, kau ada di sini."

Refleksi wajah seorang perempuan sedang tersenyum tipis terlihat pada kaca di hadapanku. Titik-titik hujan menghiasi wajahnya seolah ia sedang berkeringat. Detik berikutnya, senyuman itu pudar. Berganti dengan helaan napas panjang, tatapan kosong, senyum getir. Memilukan.

Sinar matanya meredup. Seakan ingin menyembunyikan kemilaunya dari siapa-siapa yang melihat. Seakan ingin menghindarkan segala yang ada di dirinya dari siapa-siapa yang melihat. Tapi, pandangannya masih terpaku di sana, di kaca seberang. Seorang yang dulu pernah sangat ia cintai, ia damba, kini hanya dapat ia gapai melalui kata, mata, sentuhan pada kaca.

Setelah sekian lama ia berusaha menghindar dari kaca ini, dari kaca itu, dari mata jernih di seberang sana, dan dari rasa sakit ini. Tapi, semuanya lebur. Hancur. Dinding domino pertahannya telah disentil oleh hujan sentimentil. Hujan yang juga rutin ia hindari, meski jelas masih sangat ia kagumi dari balik kaca ini.

Hujan itu perlahan turun lagi. Rintiknya membasahi perempuan cantik pada kaca itu. Perempuan itu kini berdiri menantang hujan. Wajahnya lantang menghadap langit yang tengah menangis ditikam tarian kesedihannya. Ia terduduk lemas pada rumput basah di halaman rumahnya. Airmatanya terlah bersatu dengan kesedihan langit.

Mata mereka bertemu. Lagi. Pelukan hangat itu tinggal sejengkal lagi. Tapi entah, perempuan itu masih terguncang diburu kesedihan mendalam. Payung yang digenggam pria itu, kini telah tertiup angin entah ke mana. Kini, hanya ada mereka, mata yang selalu saling peluk melalui jarak, mata yang saling kagum dalam diam, sentuhan yang sering menyatu dalam ketidakmungkinan, kini mereka lebur dalam hujan. Hujan yang sering kali memanggil mereka untuk berhadapan, dihadang jarak, dijauhkan cinta.

Hujan ini seperti mereka, saling menghindari, tapi tak dapat dihindari, mereka saling jatuh hati.
Seperti menghadapi sang hujan, mereka saling menjauh, menghindar, hanya bisa mencintai lewat kaca, tapi mereka betul-betul saling jatuh hati.

Kali ini, tak ada payung, tak ada jarak, tak ada kaca, tak ada takut.
Hanya si senyum tipis dan mata jernih, saling rengkuh, dalam hujan.

Bis Kota


Peluh menyembur. Kerutan seakan pakaian satu-satunya. Lelah menjadi yang tak terkalahkan. Tapi jelas, kerja keras menjadi yang paling tangguh.

Belasan orang berjubel di sana. Belasan keluh berawan di sana. Belasan tetes pengorbanan terjatuh di sana. Belasan rasa syukur terucap di sana.

Adakah yang lebih membahagiakan selain mendengar suara orang rumah melalui ponsel? Adakah yang lebih membahagiakan selain mendengar suara orang yang dikasihi?

Terik matahari membakar. Angin malam menusuk. Helaan nafas panjang seakan bercerita kisah kesah mereka masing-masing. Pikiran saling melayang, menerka melalui bayang.

Sekilas saling senyum seakan saling tahu penderitaan masing-masing.

Barang rongsok itu terus melaju. Menerjang segala yang menghadang. Sang pengemudi seakan tak punya tanggung jawab akan nyawa-nyawa yang dibawanya. Padahal, belasan nyawa itu, membawa penyambung nyawa bagi nyawa lainnya.

Tak ada yang bisa menyalahkan. Bagaimana mungkin, seorang yang telah bekerja sekeras dan sekasar mungkin untuk orang-orang rumah, lantas disalahkan? Sepertinya, mereka yang bekerja sekeras dan sekasar itu pun sadar dan tahu.

Pada terminal itu, bis kota berhenti. Bukan untuk pulang ke rumah, tapi singgah. Untuk kembali memacu lajunya di tengah kota, kembali menantang maut, kembali menendang telak bola kepasrahan.

Yang Ada Hanyalah Ada


Sebetulnya, kepergian bukanlah hal yang mendadak. Ia telah ditandakan, ia telah diberitakan, dan ia telah dijanjikan. Tetapi ia tak mungkin ditiadakan. Karena kepergian, berarti perjalanan baru. Karena kepergian, berarti hidup masih terus berputar.

Tak ada yang terlalu mendadak, jika kita selalu siap. Tak ada yang terlalu tak siap, jika kita selalu mengingat. Dan tak ada yang terlalu cepat, jika kita selalu siap dan ingat.
Yang ada hanyalah ada.

Menikmati kehidupan seharusnya beriringan dengan mengingat kematian, bukan?
Menikmati kehidupan seharusnya beriringan dengan membayangkan kematian, bukan?
Menikmati kehidupan seharusnya beriringan dengan bersiap akan kematian, bukan?

Dan, kematian adalah janji kehidupan yang tak seorangpun harapkan pemenuhannya.

*beberapa hari ini, banyak kabar duka silih berganti. Ada yang telah pergi, ada yang sedang berjuang. Semua sedang dalam perjalanan. Hanya mereka, berjalan terlalu cepat*

Kamis, 27 September 2012

Pemakaman



Tanah merah tempat tinggal terakhir,
Gunungan merah itu merekah hangat. Tubuh seseorang di dalamnya masih bercahaya, sejagat. Kenangan-kenangan itu dengan lancar berkunjung pada ingat. Airmata jatuh lagi bagai ngengat.

Tanah merah tempat tinggal terakhir,
Gunungan merah itu masih basah. Bukan lantaran hujan, bukan lantaran airmata. Tapi tubuh itu masih mewangi, sewangi kehidupan.

Tanah merah tempat tinggal terakhir,
Kini gunung itu telah rata, tertata. Nisan itu telah terukir rapih. Tubuh itu masih di sana, sendiri. Berteman kain ataupun peti, tapi sahabat terbaik hanyalah taat dan amal.

Tanah merah tempat tinggal terakhir,
Sesekali ia mengingatkan para pengunjung. Mengingatkan, satu hari nanti mereka akan berumah sama, beratap sama, berteman sama.

Tanah merah tempat tinggal terakhir,
Kini gunungan itu kembali basah dan merekah lagi. Yang dulu rutinnya mengunjungi, kini dikunjungi dengan rajinnya.

Tanah Kusir, 2012

Hanya Ini



Aku sedang mencoba berlari sekuat mungkin. Sejauh mungkin. Agar ketiadaanku, membuatmu mengenyam doa sesering mungkin.

Menyahutlah sedikit. Tikam aku lagi dengan rentetan kata-kata itu. Bunuh aku lagi dengan panggilan itu. Jangan diam.

Tak pernah merasa angin malam sebegini jahatnya. Tak pernah merasa suara burung senja sebegini berisiknya. Dan tak pernah memcemburui matahari yang berpelukan dengan lautnya, setiap senja.

Kumohon...
Datanglah lagi. Duduklah lagi. Tersenyumlah lagi.

Jawablah...
Ke mana semua kalimat itu pergi? Ke mana wangi itu menguap? Ke mana senyum itu pudar? Kamu, ke mana?

Beri aku sedikit jawaban. Entah melalui angin, entah hujan, entah laut, entah senja, entah apa saja. Pecut aku lagi dengan senyuman itu. Peluk aku lagi dengan tatapan itu.

Hanya ini. Hanya satu. Hanya sedikit. Hanya bisikan. Bahkan hanya hembusan. Kembalilah.

Mata ini sudah cukup basah. Hati ini sudah cukup lebur. Diri ini sudah cukup merindu. Dan doa ini tak pernah cukup, untukmu

Minggu, 23 September 2012

Kaca Mata Tangkai Setengah



“Bu, ini apa?”
“Hmm…oh itu, mmm sebentar. Oh itu garpu.”
“Garpu?” jemariku masih teliti memelajari benda tersebut. “Ini pisau, Bu.”
“Oh iya mana? Oh yang kamu pegang? Iya itu pisau. Udah sini Ibu simpan.”

Aku kembali ke kamar. Masih heran pada percakapan kami tadi. Perlahan aku duduk pada kasur reot di kamar kami. Rumah tua dan kecil ini sudah menjadi tempat perlindungan kami sejak aku belum lahir. Aku hanya tinggal berdua dengan Ibu.

Ada apa, Bu?

Kudengar kucauan burung menari. Pasti sudah pukul setengah enam sore. Kuhirup udara segar yang masuk melalui jendela di kamar kecil ini. Segar sekali. Kata Ibu, kami tinggal di desa. Desa dengan sawah di sana sini, pegunungan menjadi pagar kami. Kata Ibu juga, kawanan burung biasa melintas menjelang magrib.

Ibu adalah jendela duniaku. Ibu tak pernah lelah menceritakanku tentang apa-apa saja yang ada di sekitar kami, menggambarkannya sedetail mungkin agar aku bisa membuat dunia yang ia lihat, hidup dalam benakku. Sehidup dunianya. Begitu kata Ibu.

Tapi entah, akhir-akhir ini sepertinya jendelaku mulai diterpa badai hebat. Sepertinya ada selaput yang menutup dirinya. Entahlah, tapi indera perabaku seperti lebih jitu daripada penglihatannya. Apa yang sebetulnya terjadi?

Jendela atau kaca mata. Apa sajalah, itu adalah Ibu. Kini sepertinya ada yang tak beres dengan kaca mataku. Mungkinkah tangkainya lunglai? Aku pernah meraba kaca mata milik Ibu. Di sana ada dua tangkai, untuk penyanggah pada telinga katanya.

Beri tahu aku, Bu

Aku penasaran. Ada baiknya aku bertanya langsung. Aku segera keluar kamar. Tapi langkahku berhenti di sana. Pintunya kembali kututup sedikit. Ibu sepertinya sedang bicara dengan seseorang diujung telepon.

“Iya, Mbak. Kemarin habis dari puskesmas. Katanya mata kanan saya katarak. Oh belum Nivida belum tahu. Saya enggak mau berikan kabar padanya bahwa kaca matanya tengah pincang. Bahwa jendela dunianya tengah diselubungi selaput. Dia sepertinya enggak perlu tahu, Mbak.”

Aku menganga. Sepertinya mataku ikut terbuka lebar meski aku tetap tak kan bisa melihat apa-apa. Ibu, terserang penyakit katarak. Jendelaku merabun termakan usia. Tangkai kaca mataku hanya tinggal satu.

Bukan itu masalahnya. Tapi Ibu begitu takut membuatku kecewa. Aku tak pernah punya alasan apapun untuk menyayanginya. Aku tak pernah punya alasan apapun untuk bertumpu padanya. Aku tak pernah punya alasan apapun untuk yakin padanya.

Hanya karena ia Ibu, hanya itu. Aku tak peduli matanya sehat semua, buta setengah, atau buta keduanya sepertiku. Aku, tak peduli. Aku hanya peduli bahwa ia Ibuku.

Bu, sekarang biarkan aku yang menjadi tongkatmu. Biarkan aku yang mengajarimu banyak hal. Aku selalu hidup dalam kegelapan. Tapi Ibu adalah penerangnya. Jangan takut, Bu. Dunia kita berputar. Aku tahu, satu saat kelak aku akan menggantikan peranmu. Mungkin ini saatnya.

Aku menghampirinya pada meja telpon.

“Nivida…”

Tanganku meraba angin. Mencoba menggapainya. Dapat. Jemarinya mulai mengeriput tapi tetap hangat.

“Niv…” suaranya hilang tertelan isakan.

Aku tak bisa menahan getaran pada tubuhku. Pipiku basah. Kata Ibu, aku menangis.

Ibu memelukku. Merengkuhku dalam tubuhnya, dalam-dalam. Mencoba meredam getaran hebat pada tubuhku. Kukira aku kuat, nyatanya Ibu masih lebih kuat.

Aku mencoba menenangkan diri. Tapi bahuku masih naik turun.

“Ibu katarak, Nak. Kaca matamu cacat.”

Aku menggeleng.

“Maafkan Ibu. Ibu belum cukup baik menjaga jendela duniamu.”

Aku menggeleng lagi. Kini sudah semakin tenang.

“Maaf ya, Nak.”

“Bu, sekarang biarkan Nivida yang jadi tongkat Ibu. Biarkan Nivida yang jadi penunjuk dunia Ibu.”

Ibu sepertnya kehilangan kata-kata. Kini, aku yang merengkuhnya. Mencoba meredam getaran hebat pada tubuh ringkihnya.

Semburat



Hai selamat bertemu lagi.
Aku sudah lama menghindarimu, sialkulah kau ada di sini.

Bermandikan oranye senja yang masih muda. Kamu berdiri di sana, sebentuk lengkungan manis mengisi penuh wajahmu yang terajut dalam tipisnya bibir itu. Entah kehangatan senja, entah kehangatan hatimu. Mendadak angin laut tak mampu menembus kulitku hingga tulang. Semuanya hangat, tulus, membungkus segala yang tak sempat terucap.

Aku sudah jauh-jauh bersembunyi, tapi toh kamu tetap yang paling tahu ke mana aku kabur. Berharap bisa mengubur semua yang hanya tinggal debur, tapi adamu malah menenggelamkanku pada semua yang telah lewat di antara kita, kenangan.

Seperti biasa, kamu begitu gemar menggodaku. Menggodaku yang tengah memar dikalahkan amarah. Kamu tak pernah lelah menarik ke bawah lengkungan bibirku meski sering kamu dapat malah rentetan omelanku. Di sana, di ujung lautan ini, semuanya masih rapih tersimpan.

Sekarang, kamu duduk di sampingku dengan tangan mempermainkan semburat pekat merah jingga di hadapan kita, sembari sesekali menggodaku melalu bahumu. Bahu yang tak pernah bisa kugapai dengan nyata. Semuanya hanya hologram.

Kutarik nafas sedalam mungin, mencoba menghirup semua yang pernah melalui kita. Berharap semuanya bisa tercerna lalu hilang dalam tubuhku. Tapi bukankah prinsip pernafasan adalah oksigen yang kita hirup akan keluar menjadi karbon dioksida? Ya, semuanya sia-sia. Kuhirup kenangan kita, mereka keluar menjadi roll film yang memiliki banyak scene tentang momen kita.

Nafasmu memburu. Tercium secuil wangi nafas itu. Aku, kembali jatuh padamu. Senyummu, wangi tubuhmu, wangi nafasmu, hal-hal apalagi yang harus kuelakkan? Aku hampir selalu jatuh hati pada setiap lirikan itu! Tampaknya tak perlu semua kenangan kita untuk membuatku terbungkus segala tentangmu. Jarak kita yang hanya seruas jari saja sudah buatku lemah.

Kulirik sedikit dirimu. Oh tidak, senyummu masih tertuju padaku. Lalu aku terkunci. Di sana, di hadapanmu, dengan wajah setolol spongebob.

“Saya nggak bisa kasih kamu banyak hal. Saya cuma bisa kasih kamu ini, tolong diingat ya, seperti pasir-pasir yang sekarang ada di dalam genggamanmu, meski akhirnya semua pasir itu hilang dari sana, setiap butir pasir akan tetap meninggalkan setidaknya setengah dirinya di sana.”

Aku bergeming. Masih menggenggam pasir titipannya.

“Enggak…enggak…jangan digenggam terlalu erat. Renggangkan sedikit, maka kamu akan menikmati keberadaannya lebih lama. Bahkan kehilangannya. Semuanya akan terasa lebih dalam.”

Kurenggangkan genggaman ini. Masih terpaku. Tak bisa menjawab.

Kamu tersenyum lagi. Hanya sepanjang ruas jari. Tapi tetap bisa merubuhkan dinding pertahananku. Bukan karena manis. Tapi cahaya ketulusan itu masih terpancar di sana. Bisa aku memilikinya untuk seluruh hidupku?

Senja semakin manua. Seakan miniatur kisah kita, datangnya dini, perginya bahkan sebelum semua sempat terucap. Seperti butiran pasir di tanganku. Aku tak berani menggenggamnya. Aku takut mereka hilang tanpa aku tahu kapan perginya. Seperti dirimu.

Kubiarkan tangan ini terbuka, butiran pasir dipermainkan angin. Kini aku yang ada dalam telapak tanganku sendiri. Bagian diriku telah berceceran entah ke mana, engkau permainkan.

Aku tak perlu menggenggammu erat, jika keberadaanmu hanya singkat.
Biarkan semua yang pernah kita lalui, kusimpan dengan rapih pada buih
Dirimu yang sehangat matahari, telah kusimpan pada tiap jengkal semburat senja
Agar meski sejauh apapun aku pergi, tetap kan kutemui dirimu jika waktu itu telah tiba
Tak pernah yakin pada janji yang terucap,
Tapi separuh diriku percaya kamu tak mungkin asal cecap.

Kini aku dengan nyata bisa memilikimu. Kamu yang masih dalam kehangatan yang sama. Tapi wujudmu lebih kecil, lebih lembut. Aku percaya, kata-kata bisa membuatmu tetap menjadi milikku. Meski adamu, hanya semburat senja.