Hai selamat bertemu lagi.
Aku sudah lama menghindarimu, sialkulah kau ada di sini.
Bermandikan oranye senja yang masih
muda. Kamu berdiri di sana, sebentuk lengkungan manis mengisi penuh wajahmu
yang terajut dalam tipisnya bibir itu. Entah kehangatan senja, entah kehangatan
hatimu. Mendadak angin laut tak mampu menembus kulitku hingga tulang. Semuanya
hangat, tulus, membungkus segala yang tak sempat terucap.
Aku sudah jauh-jauh bersembunyi, tapi
toh kamu tetap yang paling tahu ke mana aku kabur. Berharap bisa mengubur semua
yang hanya tinggal debur, tapi adamu malah menenggelamkanku pada semua yang
telah lewat di antara kita, kenangan.
Seperti biasa, kamu begitu gemar
menggodaku. Menggodaku yang tengah memar dikalahkan amarah. Kamu tak pernah
lelah menarik ke bawah lengkungan bibirku meski sering kamu dapat malah
rentetan omelanku. Di sana, di ujung lautan ini, semuanya masih rapih
tersimpan.
Sekarang, kamu duduk di sampingku
dengan tangan mempermainkan semburat pekat merah jingga di hadapan kita, sembari
sesekali menggodaku melalu bahumu. Bahu yang tak pernah bisa kugapai dengan
nyata. Semuanya hanya hologram.
Kutarik nafas sedalam mungin, mencoba
menghirup semua yang pernah melalui kita. Berharap semuanya bisa tercerna lalu
hilang dalam tubuhku. Tapi bukankah prinsip pernafasan adalah oksigen yang kita
hirup akan keluar menjadi karbon dioksida? Ya, semuanya sia-sia. Kuhirup
kenangan kita, mereka keluar menjadi roll film yang memiliki banyak scene
tentang momen kita.
Nafasmu memburu. Tercium secuil wangi nafas
itu. Aku, kembali jatuh padamu. Senyummu, wangi tubuhmu, wangi nafasmu, hal-hal
apalagi yang harus kuelakkan? Aku hampir selalu jatuh hati pada setiap lirikan
itu! Tampaknya tak perlu semua kenangan kita untuk membuatku terbungkus segala
tentangmu. Jarak kita yang hanya seruas jari saja sudah buatku lemah.
Kulirik sedikit dirimu. Oh tidak,
senyummu masih tertuju padaku. Lalu aku terkunci. Di sana, di hadapanmu, dengan
wajah setolol spongebob.
“Saya nggak bisa kasih kamu banyak
hal. Saya cuma bisa kasih kamu ini, tolong diingat ya, seperti pasir-pasir yang
sekarang ada di dalam genggamanmu, meski akhirnya semua pasir itu hilang dari
sana, setiap butir pasir akan tetap meninggalkan setidaknya setengah dirinya di
sana.”
Aku bergeming. Masih menggenggam pasir
titipannya.
“Enggak…enggak…jangan digenggam
terlalu erat. Renggangkan sedikit, maka kamu akan menikmati keberadaannya lebih
lama. Bahkan kehilangannya. Semuanya akan terasa lebih dalam.”
Kurenggangkan genggaman ini. Masih
terpaku. Tak bisa menjawab.
Kamu tersenyum lagi. Hanya sepanjang
ruas jari. Tapi tetap bisa merubuhkan dinding pertahananku. Bukan karena manis.
Tapi cahaya ketulusan itu masih terpancar di sana. Bisa aku memilikinya untuk
seluruh hidupku?
Senja semakin manua. Seakan miniatur
kisah kita, datangnya dini, perginya bahkan sebelum semua sempat terucap.
Seperti butiran pasir di tanganku. Aku tak berani menggenggamnya. Aku takut
mereka hilang tanpa aku tahu kapan perginya. Seperti dirimu.
Kubiarkan tangan ini terbuka, butiran
pasir dipermainkan angin. Kini aku yang ada dalam telapak tanganku sendiri.
Bagian diriku telah berceceran entah ke mana, engkau permainkan.
Aku tak perlu menggenggammu erat, jika keberadaanmu hanya
singkat.
Biarkan semua yang pernah kita lalui, kusimpan dengan rapih pada
buih
Dirimu yang sehangat matahari, telah kusimpan pada tiap jengkal
semburat senja
Agar meski sejauh apapun aku pergi, tetap kan kutemui dirimu
jika waktu itu telah tiba
Tak pernah yakin pada janji yang terucap,
Tapi separuh diriku percaya kamu tak mungkin asal cecap.
Kini aku dengan nyata bisa memilikimu.
Kamu yang masih dalam kehangatan yang sama. Tapi wujudmu lebih kecil, lebih
lembut. Aku percaya, kata-kata bisa membuatmu tetap menjadi milikku. Meski
adamu, hanya semburat senja.