Halaman

Jumat, 16 Agustus 2013

Donutura

Pantai Anyer, Agustus 2010

Keluarga gue memang gemar sekali melarikan diri saat hari raya itu tiba. Pada lebaran kali ini, kami melarikan diri ke Pantai paling asik di dunia (lah emangnya nggak tahu? Hih!) Kali ini judulnya betul-betul melarikan diri dari kedatangan saudara-saudara yang kebetulan sudah tidak ada yang dituakan. Sementara di keluarga gue ini, Eyang Uti masih ada dan masih bisa kami boyong sejauh ini.

Waktu itu kami menginap di salah satu resort yang kerennya mengalahkan Cristiano Ronaldo. Saat baru sampai di gerang depan, jujur saja, gue sempat memangdang remeh tempatnya.
“Hah? Pakde nggak salah pilih tempat nih?” gue spontan berujar pada ibu, ayah, dan kakak gue yang pada saat itu kami satu mobil.

Mereka bergeming. Sepertinya lumayan setuju dengan mulut yang agak kurang ajar ini.

Tetapi ketika kendaraan kami mulai masuk lebih dalam, gue melihat pemandangan pantai yang luar biasa indahnya. Ada latar langit biru cerah dengan sedikit ornamen awan putih menggemaskan di beberapa sisi. Tentunya ada gelombang-gelombang kecil air laut yang pasang lalu surut. Tapi dari sini tidak tampak terlalu jelas.

Setelah memarkirkan mobil pada rumah yang akan kami inapi, gue segera turun dan bergegas menuju mulut resort. Resort ini terdiri dari beberapa rumah inap yang kesemuanya memiliki pemandangan laut secara langsung, hanya dipisahkan oleh pagar jaring-jaring.

Gue lalu mencari pintu menuju pantai. Meski pun gue terbukti tidak bisa berenang sama sekali, tetapi gue adalah pemuja berat pantai, suara ombaknya, serta matahari senjanya. Seperti yang sudah-sudah, gue langsung melepaskan sendal jepit demi menikmati kelembutan pasir pantai. Tampaknya, jemari kaki gue akan bahagia bisa lama bercumbu dengan pasir-pasir ini. Ya, asal jangan tiba-tiba ada bunganya saja.

Lalu gue segera berlari ke pantai. Di sana, gue mengusik karya Allah yang paling indah. Gue menginterupsi pertemuan kehangatan air laut sore hari dengan pasir pesisir yang begitu saling merindukan. Gue berdiri bak seorang kapiten, tapi kali ini kapiten itu tidak dengan pedang panjang, dan kapitennya gendut.

Sore ini hingga matahari menghilang hanya kami habiskan dengan duduk-duduk di pinggir pantai. Menikmati senja yang semakin menua, lalu mengantarkannya ke peristirahatan termegahnya.

Pukul sembilan pagi, gue berlari ke pantai. Di sana, sudah ada sepupu tercinta yang sudah bersiap dengan papan selancarnya masing-masing yang mereka sewa di penyewaan setempat. Di sanalah penderitaan ini dimulai...

Di sana gue menghampiri pakde gue tercinta, Pakde Andi. Beliau jahil bukan kepalang. Tapi saat itu, gue tidak punya pikiran akan segera dijahili.

“Pakde!” gue kemudian berdiri di sampingnya.

“Weee sudah sarapan?”

“Alhamdulillah sudah, Pakde.”

Gue lihat, Pakde tampak memegang papan selancar. Meski sudah berusia lima puluhan, tetapi beliau tetap gila olah raga. Tidak seperti gue, masih muda, tapi badan sebelas dua belas dengan karung goni. Bukannya besar saja, tapi juga letoy. (iya gue gak punya kosa kata yang lebih baik selain, letoyyy toooyyyy tooyyyy)

“Lihat Budemu tuh. Sama Lia, naik donut,” ujarnya sambil menunjuk sebuah ban berbentuk angka delapan yang dihuni dua orang perempuan, yang kini sedang berada di tengah lautan, kemudian berayun-ayun, terhempas, lalu kembali ke laut. Donut itu diseret sebuah kapal motor. Permainan ini mirip banana boat, tetapi ini anya berpenghuni dua orang.

“Coba gih,” yakkkkkk, mari kita berdoa bersama agar detik berikutnya gue bisa berubah jadi lemper, atau es doger, atau pisang ijo juga boleh.

Tetapi nihil. Gue hanya menemukan diri gue yang nyengir bego sambil sedikit menggelengkan kepala. Dan itu artinya tetap ‘iya’ menurut kosa kata Pakde Andi.

“Itu kan berdua, aku kan sendiri, Pakde.”

“Itu ada Dita, berdua.” Dita adalah salah satu sepupu gue.

Lalu gue kembali nyengir. Kali ini mirip cengiran Dono, meski gigi gue tidak segondrong beliau. Saat donut yang dihuni Bude dan Lia sampai, dunia gue rasanya blur semua. Semuanya berputar. Semuanya kacau. Semuanya putih. Tetapi, Justin Bieber masih ganteng dan Sule tidaklah cakep.

“Bang, ini ya dua orang lagi,” suara Pakde bagaikan blackhole pada film  Zathura, dan abang-abang yang menghampiri gue dan Dita dengan dua buah pelampung sambil menarik-narik dengan susah payah ban donut bagaikan Zorgon.

Lalu gue yang tiba-tiba tampak begitu tolol dengan langsung mengambil pelampung dan memakainya perlahan langsung tampak seperti Danny yang ketakutan pada Zorgon dan berkata pada Lisa, “Zorgon eats meat! We’re meat!!”

Ini semua memang hanya ketakutan gue saja. Kenapa? Karena Dita jago berenang dan sangat hobi pada olah raga air yang satu itu. Oh jangan sedih, selain Dita, di keluarga gue semuanya hobi sekali berenang kecualli gue seorang. Seorang!! Jika gue tidak terlahir di keluarga ini, pasti dunia akan yakin bahwa keluarga ini adalah keturunan langsung dari Neptunus.

Lalu gue naik perlahan ke ban itu. Oke, sekarang gue sudah seperti Danny yang ada di ruang bawah tanah dan berniat mengambil Zathuranya dan bertemu kambing aneh yang gue yakin sekali jika ada yang menyumbangnya sebagai kurban untuk Idul Adha, pasti tidak akan jadi disembelih dan akan langsung dipuja-puja sebagai sesuatu yang sakral. Errrrr.

Gue memandang kedua mamang yang bertugas untuk mengurus pelayaran donut gue dan Dita. Keduanya memiliki ekspresi biasa saja, malah cenderung bahagia. Gue tahu, dengan pelayaran ini, tentu akan menaikkan devisa mereka. Tetapi, gue sepertinya ingin segera menenggelamkan tubuh mereka sedalam-dalamnya, sejauh-jauhnya.

Kemudian gue dan Dita menidurkan tubuh kami pada ban tersebut. Gue menengadah ke langit, kemudian gue berkalimat syahadat, lalu gue berdoa kepada Allah. Ingin rasanya saat itu gue menghampiri nyokap terlebih dahulu kemudian bilang, “Ma, kalau aku tidak kembali, biarlah aku lebur bersama pantai dan lautnya.” Lalu gue pasti akan langsung digampar enak oleh nyokap.

Gue mulai mendengar suara Zorgons. Kapal motor di hadapan gue mulai bergerak maju. Oke kami melaju pelan. Bahkan pelan sekali. Tetapi ini semua karena kamu masih di pesisir, masih banyak orang di sini. Dan nyawa gue masih aman.

Semakin ke tengah, jantung gue semakin kencang berdetak. Semakin menjauh, doa gue semakin khusyuk. Semakin kencang, cengkraman kedua tangan gue ada pegangan di samping kanan dan kiri juga semakin erat.

Putaran pertama. Putaran kedua. Putaran ketiga.

Sama saja. Kencang, sangat kencang, mengalahkan kecepatan cahaya. Tangan dan kaki gue rasanya semakin mau lepas dari tempatnya. Sementara gue memejamkan mata dan merapalkan doa pada mulut, Dita asik berteriak sambil menebar enyum menawan pada langit.

Saat selesai putaran kedua, mamangnya mengacungkan jempol yang gue tafsirkan sebagai  tanda, “Sudah?” lalu buru-buru gue jawab dengan acungan jempol juga yang gue tafsirkan dengan, “Yessss!!!! Mari pulang!!!!!”

Gue sadar sekarang, tampaknya ketololan gue memang sudah tidak bisa terbahasakan lagi. Ternyata acungan jempol itu artinya, “Tambah kencang?” dan jawaban acungan jempol dari gue, mereka tafsirkan dengan, “Tambah, Baaaaanngggg!!!!!!”

Dan, putaran ketiga ini rasanya seperti betul-betul masuk ke dalam black hole pada film Zathura. Yang terakhir, yang paling menegangkan, dan saat semuanya berhenti, rasanya gue ingin menikmati sisa hidup gue dengan sebaik-baiknya.


Ketika turun dari donut, gue mencengkram tangan si abang dengan sangat kencang. Selain karena kekesalan, juga karena gue merasa sangat pusing dan gemetar. Sekarang gue hanya bisa berdoa, semoga mamang ini mendapatkan pahala yang sebesar-besarnya dari Allah. Karena kedua mamang ini dapat membantu seseorang untuk menyadari betapa berharganya hidup yang ia miliki, membantu seseorang melihat lebih luas sisi laut, dan tentunya membantu seseorang untuk lebih sering berdoa.

Kisah ini membawa gue pada kenangan lampau, yang masih tersisa pada buah pikir tentang Pakde Andi yang sudah pergi pada  11 Januari 2013. Meski kelak ada titik-titik ingat yang terbakar dan menjadi lupa, tetapi hati akan terus memperbaharui rasa yang--kata Agnes Monica--tak ada logika.
Kisah ini gue masukkan untuk:

3 komentar:

  1. wah seru ya , minal aidzin yah

    BalasHapus
  2. Hahaha seru bgt ca ceritanya, dan ending yg gak disangka-sangka :D

    BalasHapus
  3. Wuiiiii dibaca euy sama Bang Basyirrrrr. Mihihihi makasih ya, Bang

    BalasHapus