Pantai Anyer, Agustus 2010
Keluarga gue memang gemar sekali
melarikan diri saat hari raya itu tiba. Pada lebaran kali ini, kami melarikan
diri ke Pantai paling asik di dunia (lah emangnya nggak tahu? Hih!) Kali ini
judulnya betul-betul melarikan diri dari kedatangan saudara-saudara yang
kebetulan sudah tidak ada yang dituakan. Sementara di keluarga gue ini, Eyang
Uti masih ada dan masih bisa kami boyong sejauh ini.
Waktu itu kami menginap di salah satu
resort yang kerennya mengalahkan Cristiano Ronaldo. Saat baru sampai di gerang
depan, jujur saja, gue sempat memangdang remeh tempatnya.
“Hah? Pakde nggak salah pilih tempat
nih?” gue spontan berujar pada ibu, ayah, dan kakak gue yang pada saat itu kami
satu mobil.
Mereka bergeming. Sepertinya lumayan
setuju dengan mulut yang agak kurang ajar ini.
Tetapi ketika kendaraan kami mulai masuk
lebih dalam, gue melihat pemandangan pantai yang luar biasa indahnya. Ada latar
langit biru cerah dengan sedikit ornamen awan putih menggemaskan di beberapa
sisi. Tentunya ada gelombang-gelombang kecil air laut yang pasang lalu surut. Tapi
dari sini tidak tampak terlalu jelas.
Setelah memarkirkan mobil pada rumah
yang akan kami inapi, gue segera turun dan bergegas menuju mulut resort. Resort
ini terdiri dari beberapa rumah inap yang kesemuanya memiliki pemandangan laut
secara langsung, hanya dipisahkan oleh pagar jaring-jaring.
Gue lalu mencari pintu menuju pantai. Meski
pun gue terbukti tidak bisa berenang sama sekali, tetapi gue adalah pemuja
berat pantai, suara ombaknya, serta matahari senjanya. Seperti yang
sudah-sudah, gue langsung melepaskan sendal jepit demi menikmati kelembutan
pasir pantai. Tampaknya, jemari kaki gue akan bahagia bisa lama bercumbu dengan
pasir-pasir ini. Ya, asal jangan tiba-tiba ada bunganya saja.
Lalu gue segera berlari ke pantai. Di sana,
gue mengusik karya Allah yang paling indah. Gue menginterupsi pertemuan
kehangatan air laut sore hari dengan pasir pesisir yang begitu saling
merindukan. Gue berdiri bak seorang kapiten, tapi kali ini kapiten itu tidak
dengan pedang panjang, dan kapitennya gendut.
Sore ini hingga matahari menghilang
hanya kami habiskan dengan duduk-duduk di pinggir pantai. Menikmati senja yang
semakin menua, lalu mengantarkannya ke peristirahatan termegahnya.
Pukul sembilan pagi, gue berlari ke
pantai. Di sana, sudah ada sepupu tercinta yang sudah bersiap dengan papan
selancarnya masing-masing yang mereka sewa di penyewaan setempat. Di sanalah
penderitaan ini dimulai...
Di sana gue menghampiri pakde gue
tercinta, Pakde Andi. Beliau jahil bukan kepalang. Tapi saat itu, gue tidak
punya pikiran akan segera dijahili.
“Pakde!” gue kemudian berdiri di
sampingnya.
“Weee sudah sarapan?”
“Alhamdulillah sudah, Pakde.”
Gue lihat, Pakde tampak memegang papan
selancar. Meski sudah berusia lima puluhan, tetapi beliau tetap gila olah raga.
Tidak seperti gue, masih muda, tapi badan sebelas dua belas dengan karung goni.
Bukannya besar saja, tapi juga letoy. (iya gue gak punya kosa kata yang lebih
baik selain, letoyyy toooyyyy tooyyyy)
“Lihat Budemu tuh. Sama Lia, naik donut,”
ujarnya sambil menunjuk sebuah ban berbentuk angka delapan yang dihuni dua
orang perempuan, yang kini sedang berada di tengah lautan, kemudian
berayun-ayun, terhempas, lalu kembali ke laut. Donut itu diseret sebuah kapal
motor. Permainan ini mirip banana boat, tetapi ini anya berpenghuni dua orang.
“Coba gih,” yakkkkkk, mari kita berdoa
bersama agar detik berikutnya gue bisa berubah jadi lemper, atau es doger, atau
pisang ijo juga boleh.
Tetapi nihil. Gue hanya menemukan diri
gue yang nyengir bego sambil sedikit menggelengkan kepala. Dan itu artinya
tetap ‘iya’ menurut kosa kata Pakde Andi.
“Itu kan berdua, aku kan sendiri, Pakde.”
“Itu ada Dita, berdua.” Dita adalah
salah satu sepupu gue.
Lalu gue kembali nyengir. Kali ini mirip
cengiran Dono, meski gigi gue tidak segondrong beliau. Saat donut yang dihuni
Bude dan Lia sampai, dunia gue rasanya blur semua. Semuanya berputar. Semuanya kacau.
Semuanya putih. Tetapi, Justin Bieber masih ganteng dan Sule tidaklah cakep.
“Bang, ini ya dua orang lagi,” suara Pakde
bagaikan blackhole pada film Zathura,
dan abang-abang yang menghampiri gue dan Dita dengan dua buah pelampung sambil
menarik-narik dengan susah payah ban donut bagaikan Zorgon.
Lalu gue yang tiba-tiba tampak begitu
tolol dengan langsung mengambil pelampung dan memakainya perlahan langsung
tampak seperti Danny yang ketakutan pada Zorgon dan berkata pada Lisa, “Zorgon
eats meat! We’re meat!!”
Ini semua memang hanya ketakutan gue
saja. Kenapa? Karena Dita jago berenang dan sangat hobi pada olah raga air yang
satu itu. Oh jangan sedih, selain Dita, di keluarga gue semuanya hobi sekali
berenang kecualli gue seorang. Seorang!! Jika gue tidak terlahir di keluarga
ini, pasti dunia akan yakin bahwa keluarga ini adalah keturunan langsung dari
Neptunus.
Lalu gue naik perlahan ke ban itu. Oke,
sekarang gue sudah seperti Danny yang ada di ruang bawah tanah dan berniat
mengambil Zathuranya dan bertemu kambing aneh yang gue yakin sekali jika ada
yang menyumbangnya sebagai kurban untuk Idul Adha, pasti tidak akan jadi
disembelih dan akan langsung dipuja-puja sebagai sesuatu yang sakral. Errrrr.
Gue memandang kedua mamang yang bertugas
untuk mengurus pelayaran donut gue dan Dita. Keduanya memiliki ekspresi biasa
saja, malah cenderung bahagia. Gue tahu, dengan pelayaran ini, tentu akan
menaikkan devisa mereka. Tetapi, gue sepertinya ingin segera menenggelamkan
tubuh mereka sedalam-dalamnya, sejauh-jauhnya.
Kemudian gue dan Dita menidurkan tubuh
kami pada ban tersebut. Gue menengadah ke langit, kemudian gue berkalimat
syahadat, lalu gue berdoa kepada Allah. Ingin rasanya saat itu gue menghampiri
nyokap terlebih dahulu kemudian bilang, “Ma, kalau aku tidak kembali, biarlah
aku lebur bersama pantai dan lautnya.” Lalu gue pasti akan langsung digampar
enak oleh nyokap.
Gue mulai mendengar suara Zorgons. Kapal
motor di hadapan gue mulai bergerak maju. Oke kami melaju pelan. Bahkan pelan
sekali. Tetapi ini semua karena kamu masih di pesisir, masih banyak orang di sini.
Dan nyawa gue masih aman.
Semakin ke tengah, jantung gue semakin
kencang berdetak. Semakin menjauh, doa gue semakin khusyuk. Semakin kencang,
cengkraman kedua tangan gue ada pegangan di samping kanan dan kiri juga semakin
erat.
Putaran pertama. Putaran kedua. Putaran ketiga.
Sama saja. Kencang, sangat kencang,
mengalahkan kecepatan cahaya. Tangan dan kaki gue rasanya semakin mau lepas
dari tempatnya. Sementara gue memejamkan mata dan merapalkan doa pada mulut,
Dita asik berteriak sambil menebar enyum menawan pada langit.
Saat selesai putaran kedua, mamangnya
mengacungkan jempol yang gue tafsirkan sebagai tanda, “Sudah?” lalu buru-buru gue jawab
dengan acungan jempol juga yang gue tafsirkan dengan, “Yessss!!!! Mari pulang!!!!!”
Gue sadar sekarang, tampaknya ketololan
gue memang sudah tidak bisa terbahasakan lagi. Ternyata acungan jempol itu
artinya, “Tambah kencang?” dan jawaban acungan jempol dari gue, mereka tafsirkan
dengan, “Tambah, Baaaaanngggg!!!!!!”
Dan, putaran ketiga ini rasanya seperti
betul-betul masuk ke dalam black hole pada film Zathura. Yang terakhir, yang
paling menegangkan, dan saat semuanya berhenti, rasanya gue ingin menikmati
sisa hidup gue dengan sebaik-baiknya.
Ketika turun dari donut, gue mencengkram
tangan si abang dengan sangat kencang. Selain karena kekesalan, juga karena gue
merasa sangat pusing dan gemetar. Sekarang gue hanya bisa berdoa, semoga mamang
ini mendapatkan pahala yang sebesar-besarnya dari Allah. Karena kedua mamang
ini dapat membantu seseorang untuk menyadari betapa berharganya hidup yang ia
miliki, membantu seseorang melihat lebih luas sisi laut, dan tentunya membantu
seseorang untuk lebih sering berdoa.
Kisah ini membawa gue pada kenangan lampau, yang masih tersisa pada buah pikir tentang Pakde Andi yang sudah pergi pada 11 Januari 2013. Meski kelak ada titik-titik ingat yang terbakar dan menjadi lupa, tetapi hati akan terus memperbaharui rasa yang--kata Agnes Monica--tak ada logika.
Kisah ini gue masukkan untuk:
wah seru ya , minal aidzin yah
BalasHapusHahaha seru bgt ca ceritanya, dan ending yg gak disangka-sangka :D
BalasHapusWuiiiii dibaca euy sama Bang Basyirrrrr. Mihihihi makasih ya, Bang
BalasHapus