Halaman

Kamis, 22 Mei 2014

Kelip

derit pintu itu terdengar lagi. ngiangnya bangunkan kenang yang sempat lelap. berbaringlah lagi, Kekasih. aku lelah memandangmu terus-terusan. aku jengah membiarkannya mengendap setiap malam dan mengambil bagian dari diriku yang berharga. aku ingin mati. berkali-kali kuhapus, berkali-kali aku pupus. tak peduli sebanyak apa aku mengedip mata demi mengendapkanmu, sebanyak itu pula kaujerang aku dengan kenang. kaudera aku. meski begitu, entah bagaimana aku tak jera. aku tak akan pernah mampu jera, meski telah tak mampu lagi benderang.


pada satu sore di sebuah rumah kecil penuh sesak dengan orang-orang, kita bertemu. seharusnya bukan untuk kali pertama, namun entahlah rasanya seperti yang pertama. sekali waktu sebelum hari itu, kita ada di sebuah tempat berundak-udak bersama, namun tak saling sapa, bahkan mungkin tak saling tahu keberadaan satu sama lain. kita asing.


tiga hari bersama, tidur di satu atap, dipisahkan pintu-pintu, sholat bergantian dengan sajadah yang sama, berwudhu dari air mengalir yang sama. namun nihil. tak kutemukan tanda-tanda jatuh cinta sama sekali. meski tak kumungkiri, aku salut pada ketaat dan pengetahuan agamamu. dan berhenti di sana. hatiku berkata, cukup. kita pulang dengan langkah masing-masing, dan masih berakhir asing.


tak lama kita bertemu lagi. karena keperluan satu dan lain hal. di sana, adalah pertama kalinya kita memiliki kontak yang tak hanya asal lewat. aku ingat, sebuah mantel biru tua. kau berikan sebagai jaminan. aku ingat, mulutmu mengucap namaku, matamu mengeja ekspresiku, ada kalimat yang hendak lahir namun tak kaurelakan. sebuah kereta melaju dengan kecepatan yang tak dapat kita kira, lalu menghempaskan segala yang sempat aku miliki darimu dalam detik yang singkat. dan aku, merasa itu lebih dari cukup.


cinta mendera tanpa aba-aba. ia datang begitu saja seperti angin yang tak terlihat, namun berhasil menerbangkan apa yang telah sempat kujaga, kurapikan, dan kususun di atas meja. kini semuanya berantakan berserakan di bawah meja, bahkan ada yang hilang. lembar-lembar kepatuhan itu hilang melanglang buana entah ke mana. tumpukan yang tadinya berhelai-helai, kini mengikis sehelai-helai. pada tempat yang tak kukira sama sekali. sebuah ruang gelap mirip ruang cuci foto, tak sengaja kutangkap matamu yang memanjang bagai naga.


mendadak waktuku mengkristal. mendadak segalanya terasa abadi. mendadak semangatku menanjak berundak-undak sampai batas langit dan gunung tak lagi tampak. cukup sekian detik. angin itu hanya hadir sekian detik, tapi berhari-hari serakannya tak juga beres. hari itu berakhir layaknya baju-baju sesak dalam koper, kupaksakan masuk, asal menghilang dari benak. kutekan habis perasaan bahagia itu, sampai titik terendah. terlelap sampai suara pintu di samping kamarku berderit, membangunkanku, membangunkanmu. membangunkan matamu. aku, sesak setengah mati.


ada hari-hari rutin yang kita sulam bersama. matamu masih mata yang sama. si mata naga yang sering kali kutangkap tak sengaja mengeja sorot mataku. jangan salahkan aku, jika aku besar kepala. matamu yang tak jera mencuri pandang, pilihanmu duduk di sisiku tanpa mengampuni jeda. ada sisi luas di sana, kau malah duduk di sisiku. ada yang bicara di hadapanmu, matamu malah menatapku di ujung meja.


aku hanya minta hal sederhana ini, berhentilah sejenak. jangan kabur. aku ingin menikmati keindahan itu. aku ingin tahu warna bola matamu. aku ingin putih itu berpendar lagi. aku ingin menangkap sipumu. aku, ingin sekali, merekam gugupmu. sekali saja. agar aku tahu rasanya menjadi sumber gugup gagap seseorang.


oh Tuhan, bisakan pekan ini diberikan tombol percepatan? aku merindu. aku tak ingin menyapamu melalui media apa pun. aku lelah mencari-cari bahan obrolan melulu. aku lelah memikirkan kau sedang apa. aku merindu dan hanya ingin bertemu. aku tak butuh bicara, aku hanya ingin mencuri pandang. memandangmu dari kejauhan, dari belakang, atau dari sisi mana pun.


aku. . . . .
merindumu,
sete. . . . nga. . . .h. . . . .
m. . . . . . . . . .
. . . . . . . .a. . . . .
t. . . . . . .i. . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

2 komentar:

  1. hmmmm
    cerita kita mirip, teman...
    ada sensasi tersendiri bacanya :D

    BalasHapus
  2. Semoga kelak, waktu berpihak :)

    Mampir kerumahku juga ya.. :)
    Asiqurrahman.blogspot.com

    BalasHapus