Halaman

Sabtu, 01 Maret 2014

Aku Belum Terbiasa Tanpamu

Sepertinya aku butuh malam tambahan pagi ini. Tangis itu belum kering, aku masih butuh pekat untuk menyamarkannya. Pagi ini terlalu benderang, aku masih meradang.
Saat sinar Sang Mahaterang masuk, aku ingin segera mengirimkan pesan itu padamu.
Selamat pagi, Kasih.
Tapi kalimat itu menggantung.
Mengawang.
Terbang bersama kawanan burung Gereja pagi ini.
Maaf jika aku masih mendoakanmu pagi ini. Hanya doa sederhana, agar kamu tak lupa berdoa. Aku belum terbiasa tanpamu.
Di teras itu, kamu setiap akhir pekan, datang dengan sehelai handuk milikku yang pekan lalu kamu ambil dari pundakku, kemudian kamu baui, dan kamu bawa pulang.
Pagi ini aku terduduk dengan mata sembab di sudut sana, memandang jalan yang sepi. Kasih, ke mana kamu?
Aku tak tahu, aku tak ingat bagaimana mengingatnya. Wangi kopi itu masih membawaku padamu. Kopi dengan gula satu sendok teh kesukaanmu. Tapi saat tak ada pertemuan di hari itu, kamu lebih memilih cokelat panas atau teh.
Aku duduk sambil memandang kopi dan gula dicangkir. Wanginya begitu menyakitkan. Tak pernah tahu, ternyata kopi bisa semenyakitkan ini.
Hari ini belum berakhir, tapi rasanya aku sudah sangat lelah. Lelah menahan rasa sakit. Lelah merindukanmu, Kasih. Aku lelah masih terbiasa denganmu.
Matahari mulai menutup perjalanannya. Ia segera tiba di barat. Biasanya, kita duduk di atap jemuran rumahku ini. Menikmati kue bolu yang masih panas kesukaanmu, dengan secangkir teh hangat. Hanya memandang langit, mengagumi betapa hebatnya Tuhan, melihat apakah tanaman-tanamanku telah tumbuh dengan baik. Atau, membiarkan diam mengambil alih. Diam itu rasanya menyenangkan, hangat.
Tapi tidak kali ini.
Rasanya untuk sekadar memberi ruang pada sepi pun aku tak rela. Isak ini masih belum lelah menjajah, ia hadir lagi menemaniku menghantarkan Matahari pulang.
Kerutan kening itu, kamu masih ingat bagaimana aku begitu rajin memijatnya agar kerutan di keningmu itu pergi jauh-jauh. Sesekali, kamu terlelap. Entah di sofa, entah di karpet, terkadang juga di pahaku.
Katamu, tak ada bantal yang bisa memberikan mimpi indah selain bantalan pahaku.
Malam ini aku menangis lagi. Ingin sekali memaki mata ini, “Apakah semalam belum cukup?”
Aku lelah.
Aku ingin tidur.
Aku ingin bermimpi.
Aku ingin mulai terbiasa tanpamu.
Karena,

Aku masih belum terbiasa tanpamu...

1 komentar: