Suara geluduk mengiringi pasukan
kematian mengawal awan yang akan segera dikubur hidup-hidup di tanah.
Kerasnya angin menggertak lonceng,
Desiran angin merapatkan mantel,
Ayunan palu angin memukul kalah
dedauanan yang mati duluan mendahului hujan.
Gelegar geluduk kembali datang. Kali ini
dahsyatnya buat awan berkeringat ketakutan. Kaca-kaca yang kokoh pada tiang
pancang bumi pun turut meringis tanda kesakitan. Dua insane yang saling bunuh
dalam diam pun terpaksa angkat senjata lewat mata.
Tiba waktunya, air langit dihajar
sampai kalah dan akhirnya mati. Kematiannya dirayakan tanaman sampai tumbuh
subur.
Hujan ini berisik. Tetapi kalah
berisiknya dengan gemericik hati dua manusia gengsi. Di dalam hati keduanya,
gengsi dan rindu saling hantam. Tetapi sayang, gengsi terlalu sangar bagi
rindu. Rindu pun ikut mati, di tanah hati yang ditumbuhi melati.
Suhu dingin menusuk kulit
masing-masing dan memaksa mereka saling lihat tanda masih saling pahat. Rindu bangkit.
Melati pada hati mereka tumbuh subur. Geletar sesal membahana keras pada gua
hati. Tetapi gemetar maaf akhirnya terucap.
Keduanya saling peluk. Mungkin gengsi
sudah dibekuk.
Tak ada lagi nyanyian kematian besera
iring-iringannya,
Kini yang tinggal hanyalah wangi
tanah, yang menguap masuk pada hati dua rindu yang masih saling genggam. Dengan
gengsi yang menatap geram.