Halaman

Senin, 14 Desember 2015

Belajar Menyerah

Mulia, apa dan bagaimana itu menyerah?

Jam dinding itu berdentang lagi. Kali ini dentangnya hanya sekali. Pukul 12 tengah malam. Tepat. Dan benakku masih bekerja keras pada titik bifurkasi itu, antara terus merajut khawatir akan ia, atau menyerah saja tidur dengan sebongkah batu es di dalam dada.

Aku masih mengeja hari-hari itu. Sesekali segalanya tampak manis, sesekali esok terasa kian mustahil. Napasku terhela keras. Lelah sekali, Mulia...

Aku lelah terus mengeja yang telah. Mungkin aku tampak kokoh, namun rasanya aku renta dan tergopoh. Bisakah sekali saja, segalanya terasa pasti tanpa eja. Walaupun, rasanya betapa pengecut diri ini jika selalu berharap yang pasti padahal ketidakpastian ialah sebaik-baiknya pecut.

Mulia, apa dan bagaimana itu menyerah?

Entah telah dikutuk siapa atau apa, namun aku belum pernah merasa kepedulian menjadi sesakit ini. Entah karena zaman atau karena aku saja, namun rasanya malu sekali menjadi yang paling peduli, lagi paling cerewet menanyakan ini dan itu. 

Belum, Mulia, aku belum pernah merasakan mencoba meraih seberat ini.

Dan aku mulai mendamba hidup dalam ketidakpedulian. Karena, percayalah, kepedulian ini mulai terasa begitu menyesakkan.


Jadi, Mulia, tolong ajari aku untuk menyerah? Karena rasa lelah ini mulai melelahkan, Mulia......

Sabtu, 26 September 2015

Kita yang Tidak

Mungkin aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela pergi ke minimarket untuk beli pembalut.
Mungkin aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela berbohong bahwa rumah kita searah padahal rumahku di Timur, rumahmu di Barat.
Mungkin aku hanya perempuan entah siapa yang buatmu rela bangun pagi demi menerjang macet Jakarta yang aduhai.
Mungkin, Kasih, aku hanya perempuan entah siapa yang rela buatmu nyalakan keran di pagi buta agar tampak tampan.

Ini klasik, Kasih.
Kisah yang didamba siapa saja.
Kisah yang dikhayalkan pada jeda di setiap hari.
Kisah yang diindahkan sebelum otak belum betul-betul lelah lalu lelap.

Kau tak akan pernah paham betapa aku ingin.
Kau tak akan pernah padam dari berapa yang kuhitung sampai malam mendingin.
Kasih, kau tidak akan pernah paham.
Bahwa sampai kapanpun, kau tak akan pernah padam.

Meski kau rela carikan pembalut sampai ke Kutub,
Namun aku tak berhasil buatmu rela cairkan hati sampai Kutub tutup.
Meski kau rela searahkan rumah kita,
Namun aku tak berhasil buatmu searahkan hati kita.

Mungkin aku memang perempuan entah siapa dari mana yang berhasil buatmu berjuang begini dan begitu di padatnya lalu lintas yang menyebalkan.
Namun, agaknya, Kasih, aku tak berhasil buatmu berjuang terlepas dari Rosariomu.

Kepada, dada yang berkalung Rosario.
Dari, dada yang berkalung kerudung.


Senin, 14 September 2015

Akhir Pekan

Ingar-bingar dunia luar tak turut datang.
Sore berganti malam tanpa perayaan kenangan.
Tak tampak satu dua bintang.
Namun lampu kota menembus menjadi gemintang.

Kasih, seandainya ini malam kita.
Seandainya ini malam entah kapan.
Seandainya ini malam... malam yang sedang kita rajut...
Seandainya... tak perlu kata yang seadanya.

Adamu, adaku, seakan cukup.
Meski barangkali, waktu segera kuncup.
Adanya kita, sepertinya ilusi.
Apalagi jika kata yang hadir dari delusi.

Selamat berakhir pekan, Kasih
Semoga pekan ini kita tak berakhir.
Karena, toh kita tak pernah memulai.
Sampai sajak-sajak ini memuai
.

Kepada, yang berada entah di mana.
Dari, yang sedang duduk di pinggir kolam renang.

Kecoa

Malam ini ia datang lagi.
Laki-laki itu bertamu, dan aku tak ingin ia pergi.
Tawanya buatku terjaga hingga pagi.
Kisah dan kenang kami bagi.

Suatu hari, Ibu bertanya, seberapa jantankah dia?
Jangan terbuai jika hanya berbagi ceria.
Sudahkah kutahu apa yang ia takuti selain Tuhan?
Jangan saja terlena dengan gombalan akan terus bertahan.

Bukan Ibu namanya jika diam saja.
Sekali waktu ia teriak dari ruang beraroma tinja.
Kutahu pasti ia memancing lelakiku yang bersahaja.
Dengan langkah besar-besar, ia masuk seakan pahlawan berpakaian baja.


[]  Setelahnya, ada teriakan yang tak kalah kencang dari milik Ibu. Ibu bercerita, "Dia terpaku saat melihat si cokelat terjengkang. Tapi kamu seharusnya lihat ekspresi dia saat ada temannya yang terbang. Kamu kenal si Doni yang malamnya jadi Jeng Dian? Wajahnya kalah mengerikan jika dibandingkan dengan lelakimu! Mau ajak siapa lagi? Ibu masih banyak stok yang terjengkang dan yang akan terbang."


Gagang

Pertanyaan yang sama selalu saja mengawang.
Air lagi, sabun lagi, aduh, Bang!
Tiap Ibu teriak, aku lari tunggang-langgang.
Masalahnya, kamar mandi ini hanya sebesar gang!

Ya meski air membasuh tengkuk yang tegang.
Tapi ia juga buat aduh si luka di pinggang!
Rasanya ingin banting saja yang kupegang.
Air mengalir dari mulutnya yang menganga bagai gerbang.

Tanganku ingin berhenti memegang.
Biar sajalah jenuh ini meregang.
Biar sajalah aku lari tunggang-langgang.
Yang penting tak lagi bertemu si gagang.


[] I Tag You from Suhail Syaiful Rahman to me.

Minggu, 30 Agustus 2015

Anekdot

Tiktoktiktok, jarum jam bergegas untuk pindah.
Dari angka yang ini menuju angka yang sudah-sudah.
Dentamnya semakin buatku gundah.
Sebab hari ini jumlah tawaku rendah.

Bosan ini semakin menjadi.
Padahal aku tidak sedang semadi.
Mungkin sesekali harus keluar dari pribadi,
Dan mencari-cari yang berbau komedi.

Agar kelak tak hanya duduk bagai robot,
Atau tampak membosankan bagai baju bercorak polkadot.
Mungkin wajah serius ini harus dicopot.

Barangkali hanya bisa dengan anekdot.

Senin, 17 Agustus 2015

Jatuh Sajalah

Kemarin aku jatuh hati dan patah hati sekaligus. Ini bukan yang pertama, ini bukan yang kedua. Percayalah, tak akan ada yang ingin merasakannya. Hatiku tak lagi patah, ia hancur. Berkeping-keping. Ia lebur. Aku ingin sudah saja. Tapi tak bisa. Tak kuasa.

Kini aku berhadap-hadapan dengan samudra. Di ujungnya, matahari sedang jatuh hati pada airnya. Ia melebur. Menyatu dengan samudra. Akhirnya, benakku.

Jatuhlah, Matahari. Leburlah. Indahlah bersama genangan samudra. Jadilah horizon indah. Tebaslah batas itu. Aku ingin kalian bercinta..., benakku.

Aku hanyut pada ayunan angin pada air di kakiku. Ingin sekali menenggelamkan diri di sana. Terbawa alirannya sampai jauh. Sampai mana pun, yang penting tidak di sini. Di sini. Di mana kakiku menapak pasir yang hilang seketika saat air laut menyapunya. Di sini. Di mana aku kapok jatuh hati.
Sampai aku abai pada geraknya yang telah sangat urai. Namun aku terlalu takut untuk lebur kembali. Percayalah, ini rasanya menyakitkan. Melelahkan. Padahal aku hanya ingin dilelehkan.

Namun aku teringat pertanyaan seorang teman: apakah takut patah hati mencemari jalur jatuh hati?
Geming itu menyesakkan. Belum pernah kurasakan suara ombak sebegini mendesak. Apa iya aku harus jatuh saja?

Jatuh saja, Kasih....

Jatuh saja pada siapa yang engkau kehendaki. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Jangan lihat dasarnya. Di sana kepingan hatimu kemarin belum pulih. Mereka bahkan belum saling menemukan. Tetapi, jatuh saja, Kasih. Jatuh.

Leburlah. Hatimu terlalu indah untuk kaucemari dengan ketakutan.
Merdekalah. Merekahlah.


Kepada hati yang memilih hancur lebur,
Dari, pada tidak merdeka sama sekali.

Jakarta, hari kemerdekaan.

Minggu, 03 Mei 2015

Mon

:shof

Aku tak tahu mengapa kau begitu membingungkan melebihi teka-teki silang. Tak merasakah kau telah buatku seakan ditilang? Sekali waktu aku asik terjatuh, kemudian kauhilang. Sekali waktu aku asik abai, kau malah tak henti bertandang. Tak sadarkah kau, Monsieur?

Selalu saja begitu. Saat kukencangkan tali itu, kau malah lepas entah ke mana. Saat kulepaskan, engkau terus mengitariku dengan talimu. Sekali... saja, katakan apa inginmu? Apa anganmu? Jika kau kira aku tak serius dalam setiap kata, kau salah. Mungkin sesalah ku membaca setiap gerakmu, setiap ucapmu.

Monsieur…

Aku lelah. Tolong jelaskan segalanya sejelas kristal yang mengumpul pada ujung mataku saat menulis ini. Kumohon, Monsieur.

Aku letih mengejamu. Mengapa saat aku mulai belajar tanpamu, saat aku mulai belajar melepasmu dalam doa-doaku, saat aku mulai belajar mengikhlaskan masa depanku tanpamu, kau hadir begitu saja? Merenggut segalanya bagai perampok.

Percayalah, tak pernah ragu ku doakan kau dalam setiap tadahan tanganku. Dalam setiap sujud akhirku. Percayalah, s h o f. . .  .   .    . .    .

Aku tak lagi aku yang dulu merengek untuk bertemu. Tenang, aku akan terus menantimu di sini. Berjuang agar pantas untukmu. Berjuang agar kelak diridhoi-Nya. Tapi beritahu aku, kumohon… agar aku tahu bahwa aku tak berjuang sendiri. Aku mohon….

Monsieur…
Jika tidak sama sekali, mengapai engkau selalu mampirkan kita pada hampir?
Jika memang tidak, maka tidakkanlah…

Kepada,
Yang Telah dan Selalu Memenangkan Jarak…

Dari,

Yang telah Letih Dipermainkan…

Minggu, 26 April 2015

Tetaplah Hilang

Malam pertemuan kembali. Kata mereka ini reuni dan pasti seru. Aku sengaja datang duluan. Ingin menapaki kisah yang dulu sempat kusentuhkan pada dinding-dinding retak. Semoga saja tak ada yang datang sebelumku.

Saat sedang asyik berkeliling, kulihat ada yang mengusik di lantai atas. Seperti memandang cakrawala, mencari ujung yang menyala, padahal senja belum juga pulang. Aku tak begitu ingat wajahnya, namun terasa sangat lekat seperti ada yang pernah. Namun aku kembali berkeliling dan mengenyahkannya saja.

Di sana kulihat sosok itu duduk di tepi bak tanaman, di lapangan yang sepi. Kunyalakan nyali dan duduk di sisinya. Saat itu juga kukenali debar yang sama seperti dahulu. Ingin yang sama untuk terus berinteraksi namun karena entah, jadi kuenggan.

Aku takjub. Melihatmu kembali di sana. Membawaku kembali ke masa.

Saat segalanya masih begitu luhur dan jujur, kita pernah sedekat tanah dengan daun yang gugur. Saat aku selalu menyiapkan penghapus putih itu untuk terus-terusan kaupinjam dan kauhilangkan hampir setiap hari. Saat kutunggu hadirmu di hadapanku untuk menghadang dan meminta uang jajan.

Pada masa itu, aku gemar duduk di depan kelas. Aku malas jika diajak bermain lompat tali atau petak umpat bersama teman-teman perempuan lain. Aku hanya ingin duduk di sana, dan melihatmu menendang bola di bawah terik matahari. Menyulap khawatir menjadi tawa saat melihatmu terjatuh.

Dan waktu itu adalah di mana aku ingin sekali bel masuk segera berbunyi. Saat guru meminta kita mencatat. Saat kau membuat kesalahan pada buku catatan dan beranjak dari kursimu menuju kursiku. Meminjam, lalu menghilangkannya. Oh sudah kusebut di atas, ya?

Kini kau duduk di sisiku. Pada masa di mana segalanya telah berubah. Di mana kita sama-sama tahu bahwa apa yang pernah, biarlah menjadi apa yang pernah. Tak akan pernah ada artinya, sampai dunia remuk seperti semestinya.

Sampai ramai. Sampai usai.
Di kursi tengah, kusisipkan  doa yang hanya sebongkah.
Kusisipkan tanya meski mungkin jawabannya kelak hanyalah hanya.

Kepadamu yang selalu mengambil lalu menghilangkan,
Dari yang tak berharap dikembalikan, karena hanya ingin bertatapan.

Minggu, 01 Februari 2015

Kepada Kita

Kamu dan aku pada suatu hari,

Di antara rak supermarket itu, kamu akan mempertanyakanku mengapa membeli produk pembalut yang ini dan bukan yang itu. Mengapa bukan yang warnanya merah muda seperti kesukaanku. Mengapa tidak yang tidak ada sayapnya.

Di antara rak sayur mayur, kamu akan mempertanyakanku mengapa bukan cabai yang besar, panjang, dan merah menyala? Mengapa malah cabai yang kecil dan tidak merah. Mengapa bukan tempe yang dibungkus plastik dan malah yang dibungkus daun pisang.

Meski begitu, kamu tetap tak protes dengan trolli yang kupinta untuk kamu jaga.

Di antara rak buku itu, kamu akan kembali mempertanyakan mengapa bukan buku karya si a yang terkenal dan malah buku si b yang ada di rak bagian paling bawah. Mengapa bukan di rak buku paling laris, tapi malah di rak yang entah ada di sebelah mana itu.

Di antara rak alat tulis itu, kamu akan terus bertanya mengapa bukan memopad yang ini dan malah yang itu. Mengapa bukan penghapus yang hitam dan malah yang putih. Mengapa bukan spidol yang satu paket dan malah yang dijual terpisah. Mengapa bukan penggaris yang sekali panjang, dan malah yang bisa dilipat.

Meski begitu, kamu tetap asyik menemaniku sampai kasir.

Kamu dan aku pada suatu hari,

Kita akan duduk entah untuk berapa lama, menikmati denyut jarum jam. Mungkin sampai bolu marmer kita mengembang. Atau sampai suara penjual bakpao kesukaan kita, yang sudah kita nanti-nanti sejak berminggu-minggu, melengking dan membuat kita lari kalang-kabut untuk mencegatnya, sampai rasanya susah sekali memutuskan siapa yang lari mengejar tukang bakpao, siapa yang ambil uang untuk bayar. Atau mungkin sampai ceret mendesis karena kita terlalu lama memanggangnya. Atau, hanya sampai kita berhenti jatuh cinta dengan hening ini.

Kamu akan mempertanyakan mengapa hari ini aku hanya sibuk memandangimu, tersenyum, menyisir rambut klimismu dengan jemari gendutku, lalu mengatakan, “Hay, aku sayang kamu.” Kamu akan mempertanyakan mengapa aku tak merajut mimpi dan merentang rencana untuk kita di hari esok atau di hari entah kapan. Dan aku akan menjawab, “Sudahlah. Hari ini singkat. Hari ini aku ingin kamu tahu betapa aku mencintaimu. Karena segala angan dan asa itu sudah dan akan kupikirkan saat kita berjarak, Kasih.”

Kamu dan aku pada suatu hari,
Akan rebah di padang ilalang. Merasakan detak langit, denyut tanah. Merasakan bisikan angin, goresan rumput.

Dan,
Kepada kita pada suatu hari itu,
Nikmatilah. Jatuh cintalah. Mencintailah. Dicintailah. Karena masa lalumu telah berjuang setengah mati demi berhenti takut diabaikan.

Dari,

Aku di masa lalu kalian.

Senin, 05 Januari 2015

Ook Maga Do Do

Kasih, tidakkah kamu lihat bahwa kita cocok dan selalu cocok dalam ketidakcocokkan kita? Kita sempurna dalam ketidakcocokkan ini. Berikan aku ruang, berikan aku waktu, berikan aku kesempatan membuktikan bahwa  memang kita cocok dalam ketidakcocokkan ini.

Aku mencintai segala ketidakcocokkan ini. Aku mencintai kita yang kerap duduk dengan corak yang berbeda. Aku mencintai kasih yang mencintai ketidakcocokkan ini. Kasih, aku mencintaimu.

Pada heningnya malam, di bawah selimut tebal, dinaungi gelap kamar, aku tak pernah lelah membayangkan kita berdebat tentang siapa yang paling cinta, siapa yang paling rindu, dan siapa yang paling pertama jatuh cinta.

Pada riuhnya bus kota, di sebelah ibu-ibu gendut yang pulang dari pasar, dinaungi matahari yang riang, aku selalu gemar membayangkan betapa kita akan terus tidak setuju tentang rahasia pernikahan langgeng, apakah suami selalu mengikuti mau istri, ataukah istri yang mengalah, atau bahkan mereka saling mengerti.

Pada gegapnya kembang api di malam perayaan entah apa, dinaungi keriaan tawa keluarga, aku tak pernah absen membayangkan betapa kita akan selalu setuju untuk tidak setuju bahwa rumah adalah soal rasa bukan bangunan belaka, bahwa Kasih adalah kamu, dan bahwa cinta adalah kita.

Dan pada akhirnya aku harus berhadapan dengan ketidakcocokkan kita yang paling nyata. Bahwa aku cinta dan kamu tidak. Bahwa aku rindu dan kamu tak ingin melulu. Bahwa aku ingin dan kamu enggan.

Dan pada akhirnya aku harus bangun. Menatap dunia yang retak di balik tirai putih. Menyadari bahwa tak akan ada namaku dalam lelap, lelah, maupun lengahmu. Bahwa memang tak mungkin aku mengikis lelahmu.

Dan pada akhirnya, masalah ada padaku. Bahwa aku memaksa.
Aku memaksa cinta hidup, padahal ia lebih baik lenyap.
Aku memaksa rindu menghias, padahal ia mengais.
Aku memaksa kita berdebat siapa yang paling, padahal seharusnya sekadar tahu kamu pernah ingin saja sudah cukup.

Kasih, aku tak mampu mengotori jalur jatuh cinta ini. Aku terlalu cinta. Aku terlalu lepas kendali. Aku hanya ingin cinta. Semoga itu cukup.

Iya, semoga itu cukup. Selamat Malam. Tapi ingat, aku tetap cinta meski kelak malam tak lagi selamat. Meski kelak aku lupa, aku akan ingat lagi, ini hanya masalah aku yang sedang menempuh jalur amnesia untuk yang kesekian kalinya.

Jika kelak tak ada lagi yang cinta, mungkin aku akan bersembunyi. Jika kelak tak ada lagi yang rindu, mungkin aku sudah menghilang. Dan jika kelak kamu sudah sangat jauh, aku sudah kembali dari perjalanan amnesia, dan merasa cukup dengan cinta ini.

Kepada yang pernah, sedang, dan sepertinya akan terus pas untukku,
Dari yang pernah, sedang, dan sepertinya akan selalu kautolak mentah-mentah.