Halaman

Senin, 15 Desember 2014

Kenang

Pada air mata yang menggenang, malam terus mengenang. Kisah lalu terbang bagai bumerang. Entah kembali karena dilempar, atau memang sebetulnya ia belum pergi ke mana-mana. Lagu lalu mengalun mengiringi aku yang melamun. Di pinggir kusen lusuh yang sebentar lagi rapuh digerogoti rayap rakus, aku memandang kawanan kunang yang mengerjap terbang ke sana kemari. Kepalaku segelap malam. Kenang kita seterang kunang. Jika ada pilihan tenggelam, aku menyesal dulu belajar berenang. Jika ada pilihan berhenti, aku menyesal tahu caranya memulai. Jika ada pilihan tak sayang, aku menyesal pernah kenal.

Setelah malam itu, segalanya berubah. Hari seakan lebih menyukai gelap dibanding terang. Matahari selalu datang kesiangan. Langit suhunya tak pernah turun. Gelegar petir di sana sini. Kelakar angin memekakkan telinga. Tubuh gaia tak pernah kering, nyaris terlalu basah. Ingin sesekali melihat langit seperti dulu. Secerah senyummu. Sehangat keningku sesaat setelah kaukecup. Sedingin suaramu yang merajuk pada saluran telepon jika lama tak bertemu. Seindah pantulan kita dengan mulut penuh busa pasta gigi pada cermin. Selucu gengsi kita yang akhirnya pergi perlahan sesaat setelah pitam mulai turun.

Ingatan melayang pada hari pertama saat tangan kita berjabat. Di sana tanganku merekam telapak tanganmu yang kasar dan kapalan. Kemudian suara berat khas perokokmu menyebutkan namamu perlahan. Telingaku merekam namamu, mengingatnya tak sulit, beda perkara dengan melupakannya. Selanjutnya suaramu menyemburkan namaku satu detik setelah aku menyebut namaku. Saat itu segalanya berubah. Aku jatuh cinta pada caramu menyebutkan namaku. Aku meleleh ketika telapakmu menyentuh kulitku.

Jangan tanya mengapa, karena aku tak punya jawaban. Jangan tanya bagaimana, karena aku tak pandai merangkai. Jangan tanyakan lagi apa-apa, karena aku sedang terbata-bata.
Aku hanya bisa. Aku bisa mengingat segalanya. Bahkan saat kita berbaris keluar kereta, aku masih ingat irama detakmu. Musik terindah. Aku bisa mengenali segalanya. Langkah kakimu, suara berdecit yang ditimbulkan karet dan ubin. Detakku akan langsung berdentam tak keruan. Aku bisa juga jatuh. Jatuh hati yang tak terperi sakitnya. Seperti apa yang sudah tertulis, jatuh maka aku hancur.

Berkeping-keping.
Di bawah meja makan itu, dengan aroma tempe goreng dan sambal terasi kesukaanmu,
Kepingan hatiku menemukan diri mereka, lalu merapatkan diri,
Sampai lampu di atas meja dimatikan, decitan tikus kembali menghancurkannya lagi.
Esok pagi, saat melihat kue bolu pandanmu tercuil sedikit, hatiku kembali merasakan kehampaan.
Kehampaan yang panjang.

Kepada yang ada dalam kenang,
Dari yang tak ingin kaukenang.