Kemarin aku
jatuh hati dan patah hati sekaligus. Ini bukan yang pertama, ini bukan yang
kedua. Percayalah, tak akan ada yang ingin merasakannya. Hatiku tak lagi patah,
ia hancur. Berkeping-keping. Ia lebur. Aku ingin sudah saja. Tapi tak bisa. Tak
kuasa.
Kini aku
berhadap-hadapan dengan samudra. Di ujungnya, matahari sedang jatuh hati pada
airnya. Ia melebur. Menyatu dengan samudra. Akhirnya, benakku.
Jatuhlah, Matahari. Leburlah. Indahlah
bersama genangan samudra. Jadilah horizon indah. Tebaslah batas itu. Aku ingin
kalian bercinta...,
benakku.
Aku hanyut
pada ayunan angin pada air di kakiku. Ingin sekali menenggelamkan diri di sana.
Terbawa alirannya sampai jauh. Sampai mana pun, yang penting tidak di sini. Di sini.
Di mana kakiku menapak pasir yang hilang seketika saat air laut menyapunya. Di sini.
Di mana aku kapok jatuh hati.
Sampai aku
abai pada geraknya yang telah sangat urai. Namun aku terlalu takut untuk lebur
kembali. Percayalah, ini rasanya menyakitkan. Melelahkan. Padahal aku hanya
ingin dilelehkan.
Namun aku
teringat pertanyaan seorang teman: apakah
takut patah hati mencemari jalur jatuh hati?
Geming itu
menyesakkan. Belum pernah kurasakan suara ombak sebegini mendesak. Apa iya aku
harus jatuh saja?
Jatuh saja,
Kasih....
Jatuh saja
pada siapa yang engkau kehendaki. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Jangan lihat
dasarnya. Di sana kepingan hatimu kemarin belum pulih. Mereka bahkan belum
saling menemukan. Tetapi, jatuh saja, Kasih. Jatuh.
Leburlah.
Hatimu terlalu indah untuk kaucemari dengan ketakutan.
Merdekalah.
Merekahlah.
Kepada hati yang memilih hancur
lebur,
Dari, pada tidak merdeka sama
sekali.
Jakarta,
hari kemerdekaan.