Halaman

Kamis, 27 September 2012

Pemakaman



Tanah merah tempat tinggal terakhir,
Gunungan merah itu merekah hangat. Tubuh seseorang di dalamnya masih bercahaya, sejagat. Kenangan-kenangan itu dengan lancar berkunjung pada ingat. Airmata jatuh lagi bagai ngengat.

Tanah merah tempat tinggal terakhir,
Gunungan merah itu masih basah. Bukan lantaran hujan, bukan lantaran airmata. Tapi tubuh itu masih mewangi, sewangi kehidupan.

Tanah merah tempat tinggal terakhir,
Kini gunung itu telah rata, tertata. Nisan itu telah terukir rapih. Tubuh itu masih di sana, sendiri. Berteman kain ataupun peti, tapi sahabat terbaik hanyalah taat dan amal.

Tanah merah tempat tinggal terakhir,
Sesekali ia mengingatkan para pengunjung. Mengingatkan, satu hari nanti mereka akan berumah sama, beratap sama, berteman sama.

Tanah merah tempat tinggal terakhir,
Kini gunungan itu kembali basah dan merekah lagi. Yang dulu rutinnya mengunjungi, kini dikunjungi dengan rajinnya.

Tanah Kusir, 2012

Hanya Ini



Aku sedang mencoba berlari sekuat mungkin. Sejauh mungkin. Agar ketiadaanku, membuatmu mengenyam doa sesering mungkin.

Menyahutlah sedikit. Tikam aku lagi dengan rentetan kata-kata itu. Bunuh aku lagi dengan panggilan itu. Jangan diam.

Tak pernah merasa angin malam sebegini jahatnya. Tak pernah merasa suara burung senja sebegini berisiknya. Dan tak pernah memcemburui matahari yang berpelukan dengan lautnya, setiap senja.

Kumohon...
Datanglah lagi. Duduklah lagi. Tersenyumlah lagi.

Jawablah...
Ke mana semua kalimat itu pergi? Ke mana wangi itu menguap? Ke mana senyum itu pudar? Kamu, ke mana?

Beri aku sedikit jawaban. Entah melalui angin, entah hujan, entah laut, entah senja, entah apa saja. Pecut aku lagi dengan senyuman itu. Peluk aku lagi dengan tatapan itu.

Hanya ini. Hanya satu. Hanya sedikit. Hanya bisikan. Bahkan hanya hembusan. Kembalilah.

Mata ini sudah cukup basah. Hati ini sudah cukup lebur. Diri ini sudah cukup merindu. Dan doa ini tak pernah cukup, untukmu

Minggu, 23 September 2012

Kaca Mata Tangkai Setengah



“Bu, ini apa?”
“Hmm…oh itu, mmm sebentar. Oh itu garpu.”
“Garpu?” jemariku masih teliti memelajari benda tersebut. “Ini pisau, Bu.”
“Oh iya mana? Oh yang kamu pegang? Iya itu pisau. Udah sini Ibu simpan.”

Aku kembali ke kamar. Masih heran pada percakapan kami tadi. Perlahan aku duduk pada kasur reot di kamar kami. Rumah tua dan kecil ini sudah menjadi tempat perlindungan kami sejak aku belum lahir. Aku hanya tinggal berdua dengan Ibu.

Ada apa, Bu?

Kudengar kucauan burung menari. Pasti sudah pukul setengah enam sore. Kuhirup udara segar yang masuk melalui jendela di kamar kecil ini. Segar sekali. Kata Ibu, kami tinggal di desa. Desa dengan sawah di sana sini, pegunungan menjadi pagar kami. Kata Ibu juga, kawanan burung biasa melintas menjelang magrib.

Ibu adalah jendela duniaku. Ibu tak pernah lelah menceritakanku tentang apa-apa saja yang ada di sekitar kami, menggambarkannya sedetail mungkin agar aku bisa membuat dunia yang ia lihat, hidup dalam benakku. Sehidup dunianya. Begitu kata Ibu.

Tapi entah, akhir-akhir ini sepertinya jendelaku mulai diterpa badai hebat. Sepertinya ada selaput yang menutup dirinya. Entahlah, tapi indera perabaku seperti lebih jitu daripada penglihatannya. Apa yang sebetulnya terjadi?

Jendela atau kaca mata. Apa sajalah, itu adalah Ibu. Kini sepertinya ada yang tak beres dengan kaca mataku. Mungkinkah tangkainya lunglai? Aku pernah meraba kaca mata milik Ibu. Di sana ada dua tangkai, untuk penyanggah pada telinga katanya.

Beri tahu aku, Bu

Aku penasaran. Ada baiknya aku bertanya langsung. Aku segera keluar kamar. Tapi langkahku berhenti di sana. Pintunya kembali kututup sedikit. Ibu sepertinya sedang bicara dengan seseorang diujung telepon.

“Iya, Mbak. Kemarin habis dari puskesmas. Katanya mata kanan saya katarak. Oh belum Nivida belum tahu. Saya enggak mau berikan kabar padanya bahwa kaca matanya tengah pincang. Bahwa jendela dunianya tengah diselubungi selaput. Dia sepertinya enggak perlu tahu, Mbak.”

Aku menganga. Sepertinya mataku ikut terbuka lebar meski aku tetap tak kan bisa melihat apa-apa. Ibu, terserang penyakit katarak. Jendelaku merabun termakan usia. Tangkai kaca mataku hanya tinggal satu.

Bukan itu masalahnya. Tapi Ibu begitu takut membuatku kecewa. Aku tak pernah punya alasan apapun untuk menyayanginya. Aku tak pernah punya alasan apapun untuk bertumpu padanya. Aku tak pernah punya alasan apapun untuk yakin padanya.

Hanya karena ia Ibu, hanya itu. Aku tak peduli matanya sehat semua, buta setengah, atau buta keduanya sepertiku. Aku, tak peduli. Aku hanya peduli bahwa ia Ibuku.

Bu, sekarang biarkan aku yang menjadi tongkatmu. Biarkan aku yang mengajarimu banyak hal. Aku selalu hidup dalam kegelapan. Tapi Ibu adalah penerangnya. Jangan takut, Bu. Dunia kita berputar. Aku tahu, satu saat kelak aku akan menggantikan peranmu. Mungkin ini saatnya.

Aku menghampirinya pada meja telpon.

“Nivida…”

Tanganku meraba angin. Mencoba menggapainya. Dapat. Jemarinya mulai mengeriput tapi tetap hangat.

“Niv…” suaranya hilang tertelan isakan.

Aku tak bisa menahan getaran pada tubuhku. Pipiku basah. Kata Ibu, aku menangis.

Ibu memelukku. Merengkuhku dalam tubuhnya, dalam-dalam. Mencoba meredam getaran hebat pada tubuhku. Kukira aku kuat, nyatanya Ibu masih lebih kuat.

Aku mencoba menenangkan diri. Tapi bahuku masih naik turun.

“Ibu katarak, Nak. Kaca matamu cacat.”

Aku menggeleng.

“Maafkan Ibu. Ibu belum cukup baik menjaga jendela duniamu.”

Aku menggeleng lagi. Kini sudah semakin tenang.

“Maaf ya, Nak.”

“Bu, sekarang biarkan Nivida yang jadi tongkat Ibu. Biarkan Nivida yang jadi penunjuk dunia Ibu.”

Ibu sepertnya kehilangan kata-kata. Kini, aku yang merengkuhnya. Mencoba meredam getaran hebat pada tubuh ringkihnya.

Semburat



Hai selamat bertemu lagi.
Aku sudah lama menghindarimu, sialkulah kau ada di sini.

Bermandikan oranye senja yang masih muda. Kamu berdiri di sana, sebentuk lengkungan manis mengisi penuh wajahmu yang terajut dalam tipisnya bibir itu. Entah kehangatan senja, entah kehangatan hatimu. Mendadak angin laut tak mampu menembus kulitku hingga tulang. Semuanya hangat, tulus, membungkus segala yang tak sempat terucap.

Aku sudah jauh-jauh bersembunyi, tapi toh kamu tetap yang paling tahu ke mana aku kabur. Berharap bisa mengubur semua yang hanya tinggal debur, tapi adamu malah menenggelamkanku pada semua yang telah lewat di antara kita, kenangan.

Seperti biasa, kamu begitu gemar menggodaku. Menggodaku yang tengah memar dikalahkan amarah. Kamu tak pernah lelah menarik ke bawah lengkungan bibirku meski sering kamu dapat malah rentetan omelanku. Di sana, di ujung lautan ini, semuanya masih rapih tersimpan.

Sekarang, kamu duduk di sampingku dengan tangan mempermainkan semburat pekat merah jingga di hadapan kita, sembari sesekali menggodaku melalu bahumu. Bahu yang tak pernah bisa kugapai dengan nyata. Semuanya hanya hologram.

Kutarik nafas sedalam mungin, mencoba menghirup semua yang pernah melalui kita. Berharap semuanya bisa tercerna lalu hilang dalam tubuhku. Tapi bukankah prinsip pernafasan adalah oksigen yang kita hirup akan keluar menjadi karbon dioksida? Ya, semuanya sia-sia. Kuhirup kenangan kita, mereka keluar menjadi roll film yang memiliki banyak scene tentang momen kita.

Nafasmu memburu. Tercium secuil wangi nafas itu. Aku, kembali jatuh padamu. Senyummu, wangi tubuhmu, wangi nafasmu, hal-hal apalagi yang harus kuelakkan? Aku hampir selalu jatuh hati pada setiap lirikan itu! Tampaknya tak perlu semua kenangan kita untuk membuatku terbungkus segala tentangmu. Jarak kita yang hanya seruas jari saja sudah buatku lemah.

Kulirik sedikit dirimu. Oh tidak, senyummu masih tertuju padaku. Lalu aku terkunci. Di sana, di hadapanmu, dengan wajah setolol spongebob.

“Saya nggak bisa kasih kamu banyak hal. Saya cuma bisa kasih kamu ini, tolong diingat ya, seperti pasir-pasir yang sekarang ada di dalam genggamanmu, meski akhirnya semua pasir itu hilang dari sana, setiap butir pasir akan tetap meninggalkan setidaknya setengah dirinya di sana.”

Aku bergeming. Masih menggenggam pasir titipannya.

“Enggak…enggak…jangan digenggam terlalu erat. Renggangkan sedikit, maka kamu akan menikmati keberadaannya lebih lama. Bahkan kehilangannya. Semuanya akan terasa lebih dalam.”

Kurenggangkan genggaman ini. Masih terpaku. Tak bisa menjawab.

Kamu tersenyum lagi. Hanya sepanjang ruas jari. Tapi tetap bisa merubuhkan dinding pertahananku. Bukan karena manis. Tapi cahaya ketulusan itu masih terpancar di sana. Bisa aku memilikinya untuk seluruh hidupku?

Senja semakin manua. Seakan miniatur kisah kita, datangnya dini, perginya bahkan sebelum semua sempat terucap. Seperti butiran pasir di tanganku. Aku tak berani menggenggamnya. Aku takut mereka hilang tanpa aku tahu kapan perginya. Seperti dirimu.

Kubiarkan tangan ini terbuka, butiran pasir dipermainkan angin. Kini aku yang ada dalam telapak tanganku sendiri. Bagian diriku telah berceceran entah ke mana, engkau permainkan.

Aku tak perlu menggenggammu erat, jika keberadaanmu hanya singkat.
Biarkan semua yang pernah kita lalui, kusimpan dengan rapih pada buih
Dirimu yang sehangat matahari, telah kusimpan pada tiap jengkal semburat senja
Agar meski sejauh apapun aku pergi, tetap kan kutemui dirimu jika waktu itu telah tiba
Tak pernah yakin pada janji yang terucap,
Tapi separuh diriku percaya kamu tak mungkin asal cecap.

Kini aku dengan nyata bisa memilikimu. Kamu yang masih dalam kehangatan yang sama. Tapi wujudmu lebih kecil, lebih lembut. Aku percaya, kata-kata bisa membuatmu tetap menjadi milikku. Meski adamu, hanya semburat senja.

Senin, 10 September 2012

Mantan Terindah



Tok tok tok…jemarinya tak kenal lelah. Terus mengetukkan diri pada meja kayu di hadapannya. Sebuah surat beramplop putih dengan garis merah-biru di pinggirannya menjadi pusat perhatiannya. Menjadi pusat edaran pandangannya. Matahari itu bersinar dari dalam amplop lecek tersebut.
 
Dari yang terlihat, kerutan di dahinya tak kalah lecek dengan amplop dan surat itu. Jemarinya berhenti. Matanya lelah tapi penuh harap dan kehangatan. Dibukanya lagi amplop tersebut. Dibacanya lagi lekat-lekat setiap kata yang tertempel di sana.

Kamu kemana saja kemarin? Sadar gak sih semuanya sudah terlalu gak mungkin saat ini, ributnya pada pikiran sendiri.

Hatinya gundah mengaduh. Peraduannya sejak dulu, kini kembali lagi. Mengadu lagi. Setelah sekian lama pergi. Setelah sekian banyak tangkisannya waktu itu. Setelah sekian sering diri itu meminta, tapi tetap tanda silang sebesar alaiumgambreng menghadangnya.

Hatinya disesaki partikel-partikel paradoks. Antara semua yang selalu membuncah selama ini, antara semua yang selalu melelahkannya, antara semua yang selalu menusuknya, dengan sebuah kalimat singkat, padat, jelas, dan hangat,

Hai, apa kabar? Aku rindu. Jarak sebaiknya kita tending jauh dari hidup kita. Mari bangun lagi dari awal.

Kenapa? Kenapa baru sekarang?, tanda tanya besar masih menggantung pada keningnya.
Bibirnya rapat membentuk sudut datar tipis di ujungnya. Hatinya kini masih terlalu pekat untuk disinari dan dicari hal yang dirinya sendiri inginkan. Semuanya semakin usang. Mungkin semuanya sudah melapuk jauh di dalam sana.

Keraguan perlahan mengetuk-ngetuk pintu batinnya. Batinnya menolak untuk kalah. Kalah oleh kedatangannya lagi. Kalah dengan semua kalimat manis itu. Dia harus kembali berdiri. Menahan semua hal indah yang keluar dan berakar, tumbuh, dan bersemi di kepalanya.

Hey, sadarlah. Mau yang keberapa ditinggal lagi? Mau yang keberapa ditolak lagi? Mau yang keberapa dijadikan yang keberapa?, mendadak dia menjadi sokrates untuk dirinya sendiri.

Dihelanya nafas panjang. Seakan karbondioksida itu bisa membawa semua rasa ragu di hatinya, semua rasa cintanya pada dia yang entah sudah berapa ribu kilometer jauhnya. Surat itu disobek tanpa ampun. Tapi detik berikutnya, kristal itu menggumpal pada ujung matanya. Seakan ada pedang es yang menghunus pada hatinya.

***
Dua tahun kemudian…

Aku terduduk dalam gelapnya malam. Kupandangi foto pernikahan kami. Seakan ada gelembung sabun yang bermain di sana. Permen lollipop menjadi pemanis yang terlalu manis. Foto pernikahan itu telah menghuni meja kerjaku sejak dari beberapa bulan yang lalu.

Aku teringat seseorang

Kubuka laci meja kerjaku. Kuambil buku harian lusuh itu. Tak pernah kubuka sejak dua tahun yang lalu. Kubolak-balik isinya. Nah itu dia. Sebuah surat dengan kehangatan sehangat senja. Tulisan itu menghuni kertas yang telah tersobek-sobek, hancur berkeping-keping, tapi telah berhasil kusatukan kembali.

Rapuh. Sepertiku yang masih rapuh sejak menerima surat itu tanpa pernah menanggapinya.

Dia, masih yang terindah