Warnanya cerah dan
manis,
Dengar-dengar, rasanya
hanya manis di pangkal lidah, kerongkongan kebagian pahit dan keruhnya.
Bentuknya lucu dan
manis,
Katanya, mudah keras
jika didiamkan, mudah kempis jika dikekang.
Permukaannya kasar dan
lembut,
Kasar jika dipilih satu
helai, lembut jika dibelai sayang.
Jika tak hati-hati,
bisa menempel pada lengket biang gulanya.
Sembari menelan ludah,
kupandangi kembang gula manis di tangan
Kuhela napas lemas,
pahitnya menjalari kerongkongan sampai dada sesak
Kalau dibawa pulang,
bisa-bisa sudah keras sampai rumah
Kalau dihabiskan,
bisa-bisa aku muntah.
Kata Ibu, jangan banyak
berpikir.
Jika ingin kulepas,
maka lepaskanlah.
Jika belum rela, maka
relakanlah.
Tak adakah tuntunan
untuk tetap memegang gagangnya meski kembangnya kudiamkan diterpa angin?
Apa baiknya memang
seperti itu?
Kupejamkan mata,
kurentangkan tangan
Gulali kini berada pada
tangan kananku
Biarkan alam yang ambil
alih,
Biarkan alam yang bicara.
Kudengarkan, meski buatku
tuli
Kurasakan, meski buatku
mati
Kubiarkan, meski buatku
sesak
Kubuka mata,
Dan semua telah
terputar pada layar tancap besar di sana,
Kembang gula itu
mengeras, sampai akhirnya jatuh dan terinjak-injak
Meski rasanya sakit,
tapi setidaknya aku punya nyali.
Barang kali, gulali
manis itu mesti kugantikan dengan obat pahit,
Agar paham, kebaikan
itu hadir dari kepahitan.
Malam
minggu sunyi, pada kamar penuh pikir tentangmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar