Halaman

Sabtu, 01 Juni 2013

Gulali

Warnanya cerah dan manis,
Dengar-dengar, rasanya hanya manis di pangkal lidah, kerongkongan kebagian pahit dan keruhnya.
Bentuknya lucu dan manis,
Katanya, mudah keras jika didiamkan, mudah kempis jika dikekang.
Permukaannya kasar dan lembut,
Kasar jika dipilih satu helai, lembut jika dibelai sayang.
Jika tak hati-hati, bisa menempel pada lengket biang gulanya.

Sembari menelan ludah, kupandangi kembang gula manis di tangan
Kuhela napas lemas, pahitnya menjalari kerongkongan sampai dada sesak
Kalau dibawa pulang, bisa-bisa sudah keras sampai rumah
Kalau dihabiskan, bisa-bisa aku muntah.

Kata Ibu, jangan banyak berpikir.
Jika ingin kulepas, maka lepaskanlah.
Jika belum rela, maka relakanlah.
Tak adakah tuntunan untuk tetap memegang gagangnya meski kembangnya kudiamkan diterpa angin?
Apa baiknya memang seperti itu?

Kupejamkan mata, kurentangkan tangan
Gulali kini berada pada tangan kananku
Biarkan alam yang ambil alih,
Biarkan alam yang bicara.
Kudengarkan, meski buatku tuli
Kurasakan, meski buatku mati
Kubiarkan, meski buatku sesak

Kubuka mata,
Dan semua telah terputar pada layar tancap besar di sana,
Kembang gula itu mengeras, sampai akhirnya jatuh dan terinjak-injak
Meski rasanya sakit, tapi setidaknya aku punya nyali.
Barang kali, gulali manis itu mesti kugantikan dengan obat pahit,
Agar paham, kebaikan itu hadir dari kepahitan.

Malam minggu sunyi, pada kamar penuh pikir tentangmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar