Malam bersiap merapihkan diri, berharap ceria siang
tadi masih meninggalkan bekas pada titik-titik jalan.
Tenda-tenda terpal masih tegak berdiri di pinggir
jalan, jual-beli pagi tadi tampaknya masih bugar hingga gelap,
Lampu-lampu kecil berpendar kuning menyilaukan mulai
dinyalakan, tanda kegiatan mereka masih akan panjang,
Barang-barang di atas meja penyambung hidup mereka
mulai kembali penuh, semoga segera habis.
Kata orang, ada benda besar berputar yang bisa bawa
kita lebih dekat dengan langit, namanya kumidi putar.
Kata orang, ada kembang gula warna merah muda yang
kempes ketika sampai di mulut, namanya gulali.
Kata orang, ada tawa renyah yang lahir di sana dari
dua tatap yang malu-malu, namanya jatuh cinta.
Tapi, aku sepertinya tersesat,
Di sini bau tengik, meski kerja keras mereka begitu
mewangi,
Keringat lengket menempel di sana sini, walau kutahu
peluh bukti kehidupan terus mengalir,
Meski di sini tak ada tawa renyah jatuh cinta, di
sini tetap ada tatap syukur atas kehidupan.
Kata orang lagi, ada bangku kayu yang bergoyang ke
depan dan ke belakang tempat tawa renyah jatuh cinta itu berayun, namanya
ayunan.
Di pasar yang sampai malam ini, tak kutemukan semua
yang orang bilang.
Hanya sebangku kecil tanpa pengayun, cukup untuk
adegan jatuh cinta pada panggung terakhir,
Bukan lagi perkara bau tengik, kumidi putar,
keringat lengket, ataupun gulali,
Kini,
Yang kucari hanya kamu,
Yang tak pernah kudengar dari orang,
Meski hati terus berjingkat-jingkat layaknya anak
kecil yang memasuki gerbang pasar malam.
Malam ramai gemuruh, pada sisi pasar yang rusuh
Malam ramai gemuruh, pada sisi pasar yang rusuh