Halaman

Jumat, 31 Mei 2013

Pasar (Sampai) Malam

Malam bersiap merapihkan diri, berharap ceria siang tadi masih meninggalkan bekas pada titik-titik jalan.

Tenda-tenda terpal masih tegak berdiri di pinggir jalan, jual-beli pagi tadi tampaknya masih bugar hingga gelap,
Lampu-lampu kecil berpendar kuning menyilaukan mulai dinyalakan, tanda kegiatan mereka masih akan panjang,
Barang-barang di atas meja penyambung hidup mereka mulai kembali penuh, semoga segera habis.

Kata orang, ada benda besar berputar yang bisa bawa kita lebih dekat dengan langit, namanya kumidi putar.
Kata orang, ada kembang gula warna merah muda yang kempes ketika sampai di mulut, namanya gulali.
Kata orang, ada tawa renyah yang lahir di sana dari dua tatap yang malu-malu, namanya jatuh cinta.

Tapi, aku sepertinya tersesat,
Di sini bau tengik, meski kerja keras mereka begitu mewangi,
Keringat lengket menempel di sana sini, walau kutahu peluh bukti kehidupan terus mengalir,
Meski di sini tak ada tawa renyah jatuh cinta, di sini tetap ada tatap syukur atas kehidupan.

Kata orang lagi, ada bangku kayu yang bergoyang ke depan dan ke belakang tempat tawa renyah jatuh cinta itu berayun, namanya ayunan.
Di pasar yang sampai malam ini, tak kutemukan semua yang orang bilang.
Hanya sebangku kecil tanpa pengayun, cukup untuk adegan jatuh cinta pada panggung terakhir,
Bukan lagi perkara bau tengik, kumidi putar, keringat lengket, ataupun gulali,
Kini,
Yang kucari hanya kamu,
Yang tak pernah kudengar dari orang,

Meski hati terus berjingkat-jingkat layaknya anak kecil yang memasuki gerbang pasar malam.

Malam ramai gemuruh, pada sisi pasar yang rusuh

Sabtu, 25 Mei 2013

Datanglah, Temui Orangtuaku



Yudhistira: *berbalik tergesah*
Yudhistira: Dik, kamu betul-betul tidak mau pacaran?
Samiya        : Duh, ini nih bagaimana? Ideku, jangan lampion...
Yudhistira: Dik...kamu betulan? 2013....
Samiya: Mas...sudahlah. Kita selesaikan ini dulu saja.
Yudhistira: Aduh apa sih...iya jangan lampion karena bisa mencemari lingkungan iya? Mau pakai apa? Burung saja? Deal!
Samiya: Mas...ih...kenapa sih, kamu selalu tahu...
Yudhistira: Samiya, kamu betul-betul tidak mau pacaran?
Samiya: Mas, kamu tahu Riani dan Genta di 5 Cm?
Yudhistira: ....iya tahu, terus?
Samiya: Kok aku seperti melihat mereka hidup dalam kita ya...
Yudhistira: Terus nanti kamu gimana menikahnya?
Samiya: Tapi sayang ya...mereka gak berakhir bersama...
Yudhistira: Ya kita bikin mereka berakhir bersama dong...
Samiya: Sembarangan! Itu cerita punya Donny Dhirgantoro ‘e
Yudhistira: Ya kita buat cerita kita sendiri, Yudhis dan Samiya...
Samiya: Mas Yudhistira, bisa kah kamu bertindak sebijak namamu?
Yudhistira: Kenapa kamu tidak mau pacaran, Samiya?
Samiya: Pacaran itu banyak mudoratnya, Mas
Yudhistira: Misalnya? 
Samiya: Peluk cium....
Yudhistira: Samiya, peluk cium itu yang bukan orang pacaran juga bisa berbuat.
Samiya: Kamu kelewat bijak
Yudhistira: Aku suka kamu panggil aku seperti tadi
Samiya: ....
Yudhistira: Jadi? Mau pacaran denganku?
Samiya: Jika siap, datanglah ke rumah. Mintaku pada kedua orang tuaku...
Yudhistira: Kamu yakin?
Samiya: Mas, rasa ini semata-mata milik Allah, aku kembalikan kepada-Nya. Jika ini bukan jalan kita, maka tak ada kepatahan yang harus kurasakan
Yudhistira: Besok, aku bersama Romo dan Ibu, ke rumah.

Menetaplah


Tatapan itu...
Kau...
Tatapanmu...
Menembus segalanya...

Keriuhan ruang mati,
Detak detik sekarat,
Hanya kita dan tatapan kita,
Mengikat erat udara.

Jangan, kumohon jangan bergerak,
Kumohon tetap di sana, pada tatapan itu,
Aku ingin tenggelam lebih dalam,
Aku rela mati di sana.

Kata orang, cinta tatapan pertama itu pepesan kosong,
Tapi bagaimana jika tatapan ini begitu tajam, kejam, dan merejam,
Memaksaku merunduk, jatuh hati tertunduk

Aku,
Ingin hidup lebih lama pada tatapan itu,
Aku,
Ingin tatapan itu juga hidup seribu tahun,
Aku,
Ingin kita, hidup, di sini, di tatapan kita...

Tepat tujuh hari merindukan tatapan pada seberang ruang, hati yang merindu pada bis kota sesak