Halaman

Selasa, 20 Agustus 2013

Cekung Itu

Senyum itu mengembang lagi,
Kedua pipi itu tertarik ke atas kembali,
Ada titik cekung kecil pada kedua sisi wajahmu.
Bisakah aku memilikinya untuk sisa hidupku?

Cekung yang diberikan Tuhan,
Tanda betapa Ia mencintai pipimu sampai Ia memberikan tanda di sana.
Cekung yang diberikan Tuhan,
Barang kali ada kisah yang kelak akan Ia baca di sana, dariku.

Meski cekungnya tak terlalu dalam,
Namun ia berhasil buatku tenggelam.
Meski cekungnya tak terlalu besar,
Namun ia berhasil buat senyummu menebar.

Ada titik cekung pada kedua sisi wajahmu,
Bisakah aku memilikinya untuk sisa hidupku?
Lesung yang melengkung pada pipi itu,

Terima kasih atas kisah yang telah kau biarkan aku tulis di situ.

Yang jatuh cinta pada lesung pipitmu

Jumat, 16 Agustus 2013

Donutura

Pantai Anyer, Agustus 2010

Keluarga gue memang gemar sekali melarikan diri saat hari raya itu tiba. Pada lebaran kali ini, kami melarikan diri ke Pantai paling asik di dunia (lah emangnya nggak tahu? Hih!) Kali ini judulnya betul-betul melarikan diri dari kedatangan saudara-saudara yang kebetulan sudah tidak ada yang dituakan. Sementara di keluarga gue ini, Eyang Uti masih ada dan masih bisa kami boyong sejauh ini.

Waktu itu kami menginap di salah satu resort yang kerennya mengalahkan Cristiano Ronaldo. Saat baru sampai di gerang depan, jujur saja, gue sempat memangdang remeh tempatnya.
“Hah? Pakde nggak salah pilih tempat nih?” gue spontan berujar pada ibu, ayah, dan kakak gue yang pada saat itu kami satu mobil.

Mereka bergeming. Sepertinya lumayan setuju dengan mulut yang agak kurang ajar ini.

Tetapi ketika kendaraan kami mulai masuk lebih dalam, gue melihat pemandangan pantai yang luar biasa indahnya. Ada latar langit biru cerah dengan sedikit ornamen awan putih menggemaskan di beberapa sisi. Tentunya ada gelombang-gelombang kecil air laut yang pasang lalu surut. Tapi dari sini tidak tampak terlalu jelas.

Setelah memarkirkan mobil pada rumah yang akan kami inapi, gue segera turun dan bergegas menuju mulut resort. Resort ini terdiri dari beberapa rumah inap yang kesemuanya memiliki pemandangan laut secara langsung, hanya dipisahkan oleh pagar jaring-jaring.

Gue lalu mencari pintu menuju pantai. Meski pun gue terbukti tidak bisa berenang sama sekali, tetapi gue adalah pemuja berat pantai, suara ombaknya, serta matahari senjanya. Seperti yang sudah-sudah, gue langsung melepaskan sendal jepit demi menikmati kelembutan pasir pantai. Tampaknya, jemari kaki gue akan bahagia bisa lama bercumbu dengan pasir-pasir ini. Ya, asal jangan tiba-tiba ada bunganya saja.

Lalu gue segera berlari ke pantai. Di sana, gue mengusik karya Allah yang paling indah. Gue menginterupsi pertemuan kehangatan air laut sore hari dengan pasir pesisir yang begitu saling merindukan. Gue berdiri bak seorang kapiten, tapi kali ini kapiten itu tidak dengan pedang panjang, dan kapitennya gendut.

Sore ini hingga matahari menghilang hanya kami habiskan dengan duduk-duduk di pinggir pantai. Menikmati senja yang semakin menua, lalu mengantarkannya ke peristirahatan termegahnya.

Pukul sembilan pagi, gue berlari ke pantai. Di sana, sudah ada sepupu tercinta yang sudah bersiap dengan papan selancarnya masing-masing yang mereka sewa di penyewaan setempat. Di sanalah penderitaan ini dimulai...

Di sana gue menghampiri pakde gue tercinta, Pakde Andi. Beliau jahil bukan kepalang. Tapi saat itu, gue tidak punya pikiran akan segera dijahili.

“Pakde!” gue kemudian berdiri di sampingnya.

“Weee sudah sarapan?”

“Alhamdulillah sudah, Pakde.”

Gue lihat, Pakde tampak memegang papan selancar. Meski sudah berusia lima puluhan, tetapi beliau tetap gila olah raga. Tidak seperti gue, masih muda, tapi badan sebelas dua belas dengan karung goni. Bukannya besar saja, tapi juga letoy. (iya gue gak punya kosa kata yang lebih baik selain, letoyyy toooyyyy tooyyyy)

“Lihat Budemu tuh. Sama Lia, naik donut,” ujarnya sambil menunjuk sebuah ban berbentuk angka delapan yang dihuni dua orang perempuan, yang kini sedang berada di tengah lautan, kemudian berayun-ayun, terhempas, lalu kembali ke laut. Donut itu diseret sebuah kapal motor. Permainan ini mirip banana boat, tetapi ini anya berpenghuni dua orang.

“Coba gih,” yakkkkkk, mari kita berdoa bersama agar detik berikutnya gue bisa berubah jadi lemper, atau es doger, atau pisang ijo juga boleh.

Tetapi nihil. Gue hanya menemukan diri gue yang nyengir bego sambil sedikit menggelengkan kepala. Dan itu artinya tetap ‘iya’ menurut kosa kata Pakde Andi.

“Itu kan berdua, aku kan sendiri, Pakde.”

“Itu ada Dita, berdua.” Dita adalah salah satu sepupu gue.

Lalu gue kembali nyengir. Kali ini mirip cengiran Dono, meski gigi gue tidak segondrong beliau. Saat donut yang dihuni Bude dan Lia sampai, dunia gue rasanya blur semua. Semuanya berputar. Semuanya kacau. Semuanya putih. Tetapi, Justin Bieber masih ganteng dan Sule tidaklah cakep.

“Bang, ini ya dua orang lagi,” suara Pakde bagaikan blackhole pada film  Zathura, dan abang-abang yang menghampiri gue dan Dita dengan dua buah pelampung sambil menarik-narik dengan susah payah ban donut bagaikan Zorgon.

Lalu gue yang tiba-tiba tampak begitu tolol dengan langsung mengambil pelampung dan memakainya perlahan langsung tampak seperti Danny yang ketakutan pada Zorgon dan berkata pada Lisa, “Zorgon eats meat! We’re meat!!”

Ini semua memang hanya ketakutan gue saja. Kenapa? Karena Dita jago berenang dan sangat hobi pada olah raga air yang satu itu. Oh jangan sedih, selain Dita, di keluarga gue semuanya hobi sekali berenang kecualli gue seorang. Seorang!! Jika gue tidak terlahir di keluarga ini, pasti dunia akan yakin bahwa keluarga ini adalah keturunan langsung dari Neptunus.

Lalu gue naik perlahan ke ban itu. Oke, sekarang gue sudah seperti Danny yang ada di ruang bawah tanah dan berniat mengambil Zathuranya dan bertemu kambing aneh yang gue yakin sekali jika ada yang menyumbangnya sebagai kurban untuk Idul Adha, pasti tidak akan jadi disembelih dan akan langsung dipuja-puja sebagai sesuatu yang sakral. Errrrr.

Gue memandang kedua mamang yang bertugas untuk mengurus pelayaran donut gue dan Dita. Keduanya memiliki ekspresi biasa saja, malah cenderung bahagia. Gue tahu, dengan pelayaran ini, tentu akan menaikkan devisa mereka. Tetapi, gue sepertinya ingin segera menenggelamkan tubuh mereka sedalam-dalamnya, sejauh-jauhnya.

Kemudian gue dan Dita menidurkan tubuh kami pada ban tersebut. Gue menengadah ke langit, kemudian gue berkalimat syahadat, lalu gue berdoa kepada Allah. Ingin rasanya saat itu gue menghampiri nyokap terlebih dahulu kemudian bilang, “Ma, kalau aku tidak kembali, biarlah aku lebur bersama pantai dan lautnya.” Lalu gue pasti akan langsung digampar enak oleh nyokap.

Gue mulai mendengar suara Zorgons. Kapal motor di hadapan gue mulai bergerak maju. Oke kami melaju pelan. Bahkan pelan sekali. Tetapi ini semua karena kamu masih di pesisir, masih banyak orang di sini. Dan nyawa gue masih aman.

Semakin ke tengah, jantung gue semakin kencang berdetak. Semakin menjauh, doa gue semakin khusyuk. Semakin kencang, cengkraman kedua tangan gue ada pegangan di samping kanan dan kiri juga semakin erat.

Putaran pertama. Putaran kedua. Putaran ketiga.

Sama saja. Kencang, sangat kencang, mengalahkan kecepatan cahaya. Tangan dan kaki gue rasanya semakin mau lepas dari tempatnya. Sementara gue memejamkan mata dan merapalkan doa pada mulut, Dita asik berteriak sambil menebar enyum menawan pada langit.

Saat selesai putaran kedua, mamangnya mengacungkan jempol yang gue tafsirkan sebagai  tanda, “Sudah?” lalu buru-buru gue jawab dengan acungan jempol juga yang gue tafsirkan dengan, “Yessss!!!! Mari pulang!!!!!”

Gue sadar sekarang, tampaknya ketololan gue memang sudah tidak bisa terbahasakan lagi. Ternyata acungan jempol itu artinya, “Tambah kencang?” dan jawaban acungan jempol dari gue, mereka tafsirkan dengan, “Tambah, Baaaaanngggg!!!!!!”

Dan, putaran ketiga ini rasanya seperti betul-betul masuk ke dalam black hole pada film Zathura. Yang terakhir, yang paling menegangkan, dan saat semuanya berhenti, rasanya gue ingin menikmati sisa hidup gue dengan sebaik-baiknya.


Ketika turun dari donut, gue mencengkram tangan si abang dengan sangat kencang. Selain karena kekesalan, juga karena gue merasa sangat pusing dan gemetar. Sekarang gue hanya bisa berdoa, semoga mamang ini mendapatkan pahala yang sebesar-besarnya dari Allah. Karena kedua mamang ini dapat membantu seseorang untuk menyadari betapa berharganya hidup yang ia miliki, membantu seseorang melihat lebih luas sisi laut, dan tentunya membantu seseorang untuk lebih sering berdoa.

Kisah ini membawa gue pada kenangan lampau, yang masih tersisa pada buah pikir tentang Pakde Andi yang sudah pergi pada  11 Januari 2013. Meski kelak ada titik-titik ingat yang terbakar dan menjadi lupa, tetapi hati akan terus memperbaharui rasa yang--kata Agnes Monica--tak ada logika.
Kisah ini gue masukkan untuk:

Selasa, 13 Agustus 2013

Bau Singkong

Yogyakarta, September 2011

Tok tok tok. Ketukan pada pintu kamar mengagetkan gue dan sepupu-sepupu gue yang baru saja selesai menakut-nakuti diri sendiri dengan nonton dvd horror di malam H+2 Hari Raya Idul Fitri. Gue yang masih kaget dengan dada naik turun mirip-mirip pelari yang baru selesai menuntaskan tugasnya berlari sepuluh putaran, menatap ngeri pada pintu kamar puri.

Kedelapan sepupu gue menatap gue yang daritadi teriak paling kencang dengan banyak sumpah serapah keluar dari mulut ini. Tidak hanya itu, tapi gue juga yang awalnya paling getol ngajakin mereka untuk nonton film ini. Salah satu sepupu gue berdiri lalu membuka pintu. Ternyata ada orang di sana! Syukurlah bukan hantu!

“Ayo makan malam. Get dressing, Guys!”

Dari kecil, kami memang kerap kali merayakan hari lebaran di Yogyakarta. Tapi tidak setiap tahun. Biasanya selang-seling dengan merayakan lebaran di Jakarta. Tahun ini, kami akan merayakan lebaran di Yogyakarta. Sudah dua malam kami habiskan di sini, dan belum ada rencana ke mana-mana.

Selesai makan malam di salah satu restoran dengan suasana persawahan—seperti biasa—kami mengobrol bersama orang tua. Salah seorang sepupu gue tiba-tiba bertanya, “Bude, wisata horror yuk?”

Kemudian mata gue mirip mata Nyai Roro Kidul pada lukisan  yang ada di salah satu kamar hotel milik keluarga gue, melotot sambil mendelik. Jangankan untuk berkaca dan melihat mata ini, membayangkannya saja rasanya gue memilih mati.

Tapi rasanya yang kaget dan memilih tidur nyenyak hanya gue, yang lainnya antusias  sambil seksama mendengarkan kisah-kisah horror yang diceritakan Bude yang memang tinggal di Yogyakarta sudah lama sekali. Saking malasnya—oke takut—gue mendengarkan beliau, akhirnya gue duduk di dekat Eyang sambil meladeni adik sepupu gue yang masih berusia 4 tahun.

Acara makan malam itu pun selesai. Saat menuju mobil, entah kenapa nama gue disebut oleh ibunda tercinta. Katanya, gue naik mobil yang isinya anak-anak semua dan disetir oleh salah satu sepupu tercinta. Mati sajalah!

“Sebentar, kenapa emangnya, Ma?”

“Kan kalian katanya mau pergi?”

APAAA??? KALIAAANN?? SEJAK KAPAN GUE BERPARTISIPASI PADA KEANTUSIASAN SEPUPU-SEPUPU GUE ITU PADA WISATA HORROR? BUNUH AJA GUEEEE!!!!

Keempat sepupu laki-laki gue pun menatap penuh keberingasan. Keempatnya menarik gue langsung masuk ke mobil. Sudah tahu nggak mungkinlah gue leas dari mereka, makanya gue pasrah seperti babi yang mau dibakar lalu dimakan di tanah Batak sana.

Gue duduk di bagian pinggir mobil. Sebetulnya gue bisa saja kabur. Tapi gue bingung. Ibunda tercinta bersama Om serta Tante dan Bude yang paling gaul sejagat raya ikut wisata horror ini di mobil yang satu lagi. Dan mobil satu lagi mengantar sisa keluarga gue yang sangat tidak asik dan sudah pasti akan langsung tidur di puri nanti. Mati saja gue sendirian di puri sewaan.

Lalu sepupu gue yang paling sialan ini menggerakkan mobil menuju sekolah Stela Duce. Seperti urban legend lainnya, sekolah ini memang sudah terkenal dengan bau singkong dan kentang gorengnya. Konon, dulu ada tukang gorengan yang meninggal di depan sekolah itu. Dan sampai saat ini, di malam hari akan selalu menyeruak bau isi dagangannya zaman dulu itu.

Menurut cerita Bude, bau singkong dan kentang goreng itu menandakan ada demonology activity (berasa Ed Warren), di mana ada Genderuwo yang sedang asik kongkow di sekitaran situ. Ya sudah, barang kali dia sedang asik dengan singkon dan kentang gorengnya. Gue hanya mau bilang, bahwa potato wedges jauh lebih enak daripada sekadar kentang goreng abang-abang. Abang-abang yang sudah meninggal pula.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAA” iya, ini suara gue.

Mereka langsung menatap gue geram. “Baru masuk jalannya, neng.”

Iya, kami memang belum sampai di depan sekolah. Ini baru di ujung jalannya. Jika dengan melambaikan tangan gue bisa terselamatkan, gue akan melakukannya bahkan sampai tangan gue lepas dari tematnya selama 17 tahun ini tinggal.

Gue mau protes, kami sudah sampai. Mereka tidak akan keberatan kalau menurunkan gue di sana. Ya yang keberatan ya guelaaaaaah!!!!!

Sepupu gue melambatkan laju kendaraan, kemudian membuka semua jendela dari tempatnya. Dia memang seperti kotoran kerbau, menyebalkan. Tapi, anehnya sampai di ujung jalan pun kami tidak merasakan bau singkong atau pun kentang. Rasanya gue ingin sekali bahagia. Tidak ada demonology activity kalau kata Ed Warren, mah.

Oh tentu bukan sepupu gue namanya kalau cepat menyerah. Dia putar balik, kemudian berhenti tepat di depan sekolah Stela Duce. Mesin ia matikan. Jendela ia buka semua. Dan gue duduk di pinggir. Rasanya senyum teduh Ibu Bidadari Lala kalah tulusnya dibanding senyum gue saat itu.

“Bro...singkong bro...” salah satu sepupu gue yang duduk di bagian pinggir satunya lagi. Dia adalah sepupu gue yang paling tidak punya rasa takut barang segaris sidik jari pun.

“Lah iya....” sahut sepupu gue yang lainnya.

Gue? Di mana? Gue mendekap lutut sambil duduk di bawah jok mobil. Menikmati kejahilan mereka. Dan semakin denial dengan bau singkong yang sudah sampai pada indera penciuman gue.

Sekarang, gue sedang duduk di pojok kamar demi berdoa. Sebentar, bukan mendoakan Genderuwo itu pergi, tapi mendoakan diri sendiri agar menang pada: http://internet.telkomsel.com/nekadtraveler/terms/telkomsel.com/nekadtraveler dan http://internet.telkomsel.com/nekadtraveler/terms/tsel.me/TVCNekadTraveler

Senin, 05 Agustus 2013

Bawang Merah

Entah apa alasan Tuhan menciptakan benda kecil yang satu itu,
Tak usah dimakan, dilihat saja sudah buat perih.
Layaknya hati yang berhari-hari mengharapmu,
Meski dari jarak yang tak terhitung,
Namun rasa sakit sepertinya betah menggantung.

Memang, jemarilah yang berdempetan dengannya saat memotong,
Namun entah, rasanya mata ini terlalu sering nonton drama.
Mungkin mata sedih menyaksikan ia yang mati terpenggal-penggal menjadi beberapa bagian,
Atau barang kali,
Mata hanya ingat bahwa betapa hatinya pernah menjadi sehancur dan sesakit itu.
Hatinya, pernah patah dan tak tahu bagaimana caranya hidup lagi.

Jika tak dipotong, maka ia dikupas.
Dipotong buatmu menangis, dikupas buatmu kesal bukan main.
Habis lapisan pertama, hadir lapisan kedua.
Kali ini, perih dan cinta punya masalah yang sama,
Entah pada lapisan keberapa keduanya akan habis.

Aku masih termangu di depan meja dapur.
Sibuk mengusap air mata yang jatuh di hadapan puluhan bawang merah yang kurajang habis setelah kukupas sampai lapisan terakhir.
“Ya ampun! Buat apa bawang sebanyak ini?”
“Untuk aku, agar ada alasan mengapa di waktu sepagi ini menangis.”
Hari ke enam ratus,
Dan hati ini masih basah.

Barang kali alasan Tuhan menanam ia persis seperti alasan Tuhan mencetak perih pada kamus dan hati,
Agar kita, lebih tahu bahagia bukan sekadar kata...

Harapan yang masih memancarkan air mata,
Meski entah sudah pada lapisan keberapa,
Pun, entah pada keperihan sebesar apa.

Matahari Agustus

Bulan kemerdekaan itu datang juga,
Ada sejarah yang menjejak pada bulan itu,
Kisah kelam itu akhirnya terang,
Bumi terjajah ini akhirnya gagah.

Pakaian bekas perang tergantung pada jemur,
Hati ibu-ibu lega, akhirnya baju suami dan anak-anaknya kering karena matahari, tanpa jamur.
Meski di belahan lain masih ada hati yang basah oleh luka,
Entah apakah matahari musim panas mampu mengeringkannya perlahan.

Hati berjamur yang tak kenal matahari pada tempat jemur