Halaman

Jumat, 26 Juli 2013

Rindu yang Temaram

Langit meremang,
Tetapi jarum jam masih muda,
Ada titik-titik air yang masih sedikit menggantung kemudian menetes,
Tampaknya, langit sedang didera demam tinggi.

Napas tertahan perlahan,
Hembusannya mengalir melegakan si empunya.
Matanya masih terkatup,
Ada dunia yang hidup di sana meski tertutup.

Dadanya naik turun,
Ada yang membuncah dan memaksa ingin keluar dari gurun.
Matanya mulai terbuka,
Tapi dunia ini masih buram, hanya titik belaka.

Rindunya masih mengaduh,
Rindunya tak menemukan peredam gaduh.
Rindunya terus benderang,
Dari senyap sampai genderang.

Sore itu, setelah hujan merejam,
Rindunya mulai temaram.
Keduanya putus asa,
Ada harap yang tak lagi bisa.


Hati lusuh yang berkali-kali jatuh pada kamu.

Sabtu, 20 Juli 2013

Surat Ganjil


1.      Saat kubilang di langit sepekat ini aku masih memikirkanmu,
2.      Aku bohong.
3.      Aku jujur,
4.      Saat kukatakan ini bukan lagi tentang kita.
5.      Mata yang sejernih laut senja itu, kutahu milikmu, dan masih buatku rindu.
6.      Tapi tenang, aku sudah tak tenggelam di sana. Dan jika,
7.      Kini segalanya masih terasa menyesakkan,
8.      Mungkin karena senja itu tak lagi terpantul indah.
9.      Senja yang dulu kulihat melalui matamu,
10. Agaknya kini segalanya biasa saja.
11. Senja yang dulu membara cemburu menyaksikan kisah-kisah cinta yang kamu tuturkan melalui matamu,
12. Kini ia lebih lembut. Lembut yang menenangkan.
13. Senja yang dulu milik kita,
14. Aku benci membaginya bersama, menikmatinya sendiri saja rasanya kurang.
15. Aku kembali mengais-ngais butiran pasir yang pernah kita bagi,
16. Ingin meleburnya bersama debur.
17. Menyimpannya di botol penuh sesak tentang kita,
18. Lalu melarungnya ke samudera.
19. Jangan marah.
20. Aku tak lagi ada untuk meredamnya.
21. Kuharap, mata kita yang pernah saling rindu,
22. Kini lelah dan tak lagi mau beradu.
23. Dan, cukup tahu arah untuk kembali meniti tiap ganjil pada surat ini.

Senin, 01 Juli 2013

Kristalkan Aku Pada Matamu

Detik-detik itu berlalu tanpa kita tahu berapa cepatnya,
Tapi ketika mata ini menangkap matamu, rasanya detik-detik itu menahan napasnya,
Menyaksikan dua mata berani,
Yang tak dapat saling bertaut pada ucap.

Hati ini memuja,
Hati ini merajuk,
Hati ini jatuh berkeping,
Dan mata itu, matamu, mengepungku yang compang-camping.

Jangan, jangan ke mana-mana,
Tetaplah di sana,
Tataplah aku lagi dengan jerat itu,
Kamu pandai buat hati ini berat.

Sebelum mata itu menutup,
Sebelum dunia ini terasa diketuk,
Sebelum segalanya terlambat,
Kumohon,
Kristalkan aku di sana,
Di kedua matamu,
Kristalkan aku di sana,
Bersama segala kenang yang tak sempat tergenang,
Kristalkan aku di sana,
Kelak jika aku pecah, kepingnya akan bantumu menemukan kita.

Kepada mata teduh dan manja di bawah tangga,
Dari yang tenang tinggal di sana selamanya

Yang Terakhir

Kesempatan terakhir itu akhirnya datang,
Entah pada hitungan keberapa kesempatan itu hadir,
Tapi,
Ia tetap kesempatan yang terakhir.

Ada cinta yang jatuh diam-diam,
Ada hati yang patah tanpa pernah terobati,
Ada sesal yang menggema keras,
Kesempatan itu,
Berarti tepat saat segalanya berakhir.

Tiba-tiba, khayalan terasa begitu nyata,
Kebetulan seakan takdir,
Buah pikir mengada-ada bak kehendak Tuhan,
Tapi, tetap rasanya tertidur jauh lebih melegakan daripada terjaga.

Seandainya kesempatan itu tak pernah hadir,
Atau...
Seandainya kesempatan itu tak pernah berakhir,

Aku,
Hanya ingin mengemas kita,
Pada setiap kesempatan-kesempatan lain,
Bukan yang terakhir,
Tapi selamanya.

Dari yang telah membiarkan banyak kesempatan mati,

Kepada yang selalu reinkarnasi pada sesal.

Semarang, Juni  2013