Halaman

Minggu, 23 September 2012

Semburat



Hai selamat bertemu lagi.
Aku sudah lama menghindarimu, sialkulah kau ada di sini.

Bermandikan oranye senja yang masih muda. Kamu berdiri di sana, sebentuk lengkungan manis mengisi penuh wajahmu yang terajut dalam tipisnya bibir itu. Entah kehangatan senja, entah kehangatan hatimu. Mendadak angin laut tak mampu menembus kulitku hingga tulang. Semuanya hangat, tulus, membungkus segala yang tak sempat terucap.

Aku sudah jauh-jauh bersembunyi, tapi toh kamu tetap yang paling tahu ke mana aku kabur. Berharap bisa mengubur semua yang hanya tinggal debur, tapi adamu malah menenggelamkanku pada semua yang telah lewat di antara kita, kenangan.

Seperti biasa, kamu begitu gemar menggodaku. Menggodaku yang tengah memar dikalahkan amarah. Kamu tak pernah lelah menarik ke bawah lengkungan bibirku meski sering kamu dapat malah rentetan omelanku. Di sana, di ujung lautan ini, semuanya masih rapih tersimpan.

Sekarang, kamu duduk di sampingku dengan tangan mempermainkan semburat pekat merah jingga di hadapan kita, sembari sesekali menggodaku melalu bahumu. Bahu yang tak pernah bisa kugapai dengan nyata. Semuanya hanya hologram.

Kutarik nafas sedalam mungin, mencoba menghirup semua yang pernah melalui kita. Berharap semuanya bisa tercerna lalu hilang dalam tubuhku. Tapi bukankah prinsip pernafasan adalah oksigen yang kita hirup akan keluar menjadi karbon dioksida? Ya, semuanya sia-sia. Kuhirup kenangan kita, mereka keluar menjadi roll film yang memiliki banyak scene tentang momen kita.

Nafasmu memburu. Tercium secuil wangi nafas itu. Aku, kembali jatuh padamu. Senyummu, wangi tubuhmu, wangi nafasmu, hal-hal apalagi yang harus kuelakkan? Aku hampir selalu jatuh hati pada setiap lirikan itu! Tampaknya tak perlu semua kenangan kita untuk membuatku terbungkus segala tentangmu. Jarak kita yang hanya seruas jari saja sudah buatku lemah.

Kulirik sedikit dirimu. Oh tidak, senyummu masih tertuju padaku. Lalu aku terkunci. Di sana, di hadapanmu, dengan wajah setolol spongebob.

“Saya nggak bisa kasih kamu banyak hal. Saya cuma bisa kasih kamu ini, tolong diingat ya, seperti pasir-pasir yang sekarang ada di dalam genggamanmu, meski akhirnya semua pasir itu hilang dari sana, setiap butir pasir akan tetap meninggalkan setidaknya setengah dirinya di sana.”

Aku bergeming. Masih menggenggam pasir titipannya.

“Enggak…enggak…jangan digenggam terlalu erat. Renggangkan sedikit, maka kamu akan menikmati keberadaannya lebih lama. Bahkan kehilangannya. Semuanya akan terasa lebih dalam.”

Kurenggangkan genggaman ini. Masih terpaku. Tak bisa menjawab.

Kamu tersenyum lagi. Hanya sepanjang ruas jari. Tapi tetap bisa merubuhkan dinding pertahananku. Bukan karena manis. Tapi cahaya ketulusan itu masih terpancar di sana. Bisa aku memilikinya untuk seluruh hidupku?

Senja semakin manua. Seakan miniatur kisah kita, datangnya dini, perginya bahkan sebelum semua sempat terucap. Seperti butiran pasir di tanganku. Aku tak berani menggenggamnya. Aku takut mereka hilang tanpa aku tahu kapan perginya. Seperti dirimu.

Kubiarkan tangan ini terbuka, butiran pasir dipermainkan angin. Kini aku yang ada dalam telapak tanganku sendiri. Bagian diriku telah berceceran entah ke mana, engkau permainkan.

Aku tak perlu menggenggammu erat, jika keberadaanmu hanya singkat.
Biarkan semua yang pernah kita lalui, kusimpan dengan rapih pada buih
Dirimu yang sehangat matahari, telah kusimpan pada tiap jengkal semburat senja
Agar meski sejauh apapun aku pergi, tetap kan kutemui dirimu jika waktu itu telah tiba
Tak pernah yakin pada janji yang terucap,
Tapi separuh diriku percaya kamu tak mungkin asal cecap.

Kini aku dengan nyata bisa memilikimu. Kamu yang masih dalam kehangatan yang sama. Tapi wujudmu lebih kecil, lebih lembut. Aku percaya, kata-kata bisa membuatmu tetap menjadi milikku. Meski adamu, hanya semburat senja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar