Halaman

Minggu, 09 September 2012

Perahu Kertas



Hai, Nus…

Ini perahu kertas pertamaku sejak beberapa bulan lalu. Apa kabarmu di lautan luas sana? Apakah keadaan laut baik-baik saja? Aku tahu, kehangatan laut sangat menggugah untuk dikunjungi. Tapi, Nus, aku kan gak bisa berenang. Kamu tahu betul hal itu.

Jadi, hanya melalui perahu kertas ini aku melaporkan keadaan daratan. Tenang saja, daratan luas milik Tuhan ini masih dalam keadaan terkontrol. Daratan lain yang kini ingin kuceritakan. Daratan itu tengah mengalami persemian. Kembang-kembang dengan rupa warna-warni tengah merekah di sana. Daratan itu bernama hatiku, Nus.

Aku hampir mati menjadi pesimistis. Aku hampir tak percaya kedatangan dirinya bisa dideteksi oleh radar Neptunus kita ini. Dia percaya kamu ada, Nus. Dia percaya aku bukan hanya seorang pengkhayal, bukan hanya seorang pemimpi. Dia percaya aku berpijak pada bumi dengan penuh kesadaran. Dia percaya semua ini bukan hanya sekadar wacana.

Dia percaya aku memiliki hal yang lebih besar dari itu, Nus. Dia percaya semua ini lebih dari harapan. Semua ini doa.

Nus…
Aku sedang mabuk kepayang. Aku kepayahan menahan gejolak yang melonjak-lonjak bak kembang api di dadaku ini. Aku berharap perahu kertas bisa membawa rasa cintaku padanya. Aku harap kertas lusuh ini tak hanya berakhir di kerajaanmu, Nus. Atau lebih parah, berakhir hancur dan menjadi partikel tak jelas penyebab kebanjiran ibu kota.

Semenjak bersamanya, semua mimpi dan cita-citaku kembali menyala. Sebelumnya, semua mimpi dan cita-citaku yang tak masuk akal sudah kubungkus dan kubuang jauh-jauh ke kerajaanmu. Tapi semenjak kami sering bicara—bahkan saat kata-kata tak lagi cukup mengisi—aku sudah kembali memeluk semua mimpi itu. Semua cita itu.

Aku percaya, dia adalah pewujud semua mimpiku. Dia adalah pemotong jarak paling handal antara mimpiku dengan nasibnya. Nasibnya yang hanya akan  teronggok merongsok pada kepala, atau akan berakhir cantik pada lembaran kehidupan selanjutnya dan menjadi sejarah. Dan semua telah semakin dekat dengan lembaran indah itu, Nus.

Perahu kertas mengingatkanku betapa ajaib hidup ini. Mencari-cari tambatan hati.

Iya, hidup ini sangat ajaib. Aku bahkan hampir tak percaya radar Neptunus yang banyak dicemooh orang itu justru dapat menemukannya. Dapat membawaku membagikan seluruh mimpi dan citaku yang hampir rapat kusimpan dalam-dalam, di gudang kerajaanmu.

Neptunus yang baik dan hebat,

Terimakasih telah selalu membaca—atau minimal—menerima semua perahu kertasku.

Terimakasih telah menjadi sahabat sejati selama perjalananku menemukan tambatan hati.

Tunggu suratku selanjutnya ya, Nus.

Salam radar Neptunus

Dari agen Neptunus yang gak bisa berenang tapi sangat amat jatuh cinta pada Samuderanya



Perahu kertas melanju terus. Meninggalkan gadis itu bersama Samuderanya. Melaju terus membawa pesan, cinta, harapan, dan kehangatan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar