“Bu, ini apa?”
“Hmm…oh itu, mmm sebentar. Oh itu garpu.”
“Garpu?” jemariku masih teliti memelajari benda
tersebut. “Ini pisau, Bu.”
“Oh iya mana? Oh yang kamu pegang? Iya itu pisau. Udah
sini Ibu simpan.”
Aku kembali ke kamar. Masih heran pada percakapan
kami tadi. Perlahan aku duduk pada kasur reot di kamar kami. Rumah tua dan
kecil ini sudah menjadi tempat perlindungan kami sejak aku belum lahir. Aku hanya
tinggal berdua dengan Ibu.
Ada
apa, Bu?
Kudengar kucauan burung menari. Pasti sudah pukul
setengah enam sore. Kuhirup udara segar yang masuk melalui jendela di kamar
kecil ini. Segar sekali. Kata Ibu, kami tinggal di desa. Desa dengan sawah di sana
sini, pegunungan menjadi pagar kami. Kata Ibu juga, kawanan burung biasa
melintas menjelang magrib.
Ibu adalah jendela duniaku. Ibu tak pernah lelah
menceritakanku tentang apa-apa saja yang ada di sekitar kami, menggambarkannya
sedetail mungkin agar aku bisa membuat dunia yang ia lihat, hidup dalam benakku.
Sehidup dunianya. Begitu kata Ibu.
Tapi entah, akhir-akhir ini sepertinya jendelaku
mulai diterpa badai hebat. Sepertinya ada selaput yang menutup dirinya. Entahlah,
tapi indera perabaku seperti lebih jitu daripada penglihatannya. Apa yang
sebetulnya terjadi?
Jendela atau kaca mata. Apa sajalah, itu adalah Ibu.
Kini sepertinya ada yang tak beres dengan kaca mataku. Mungkinkah tangkainya
lunglai? Aku pernah meraba kaca mata milik Ibu. Di sana ada dua tangkai, untuk
penyanggah pada telinga katanya.
Beri
tahu aku, Bu
Aku penasaran. Ada baiknya aku bertanya langsung. Aku
segera keluar kamar. Tapi langkahku berhenti di sana. Pintunya kembali kututup
sedikit. Ibu sepertinya sedang bicara dengan seseorang diujung telepon.
“Iya, Mbak. Kemarin habis dari puskesmas. Katanya mata
kanan saya katarak. Oh belum Nivida belum tahu. Saya enggak mau berikan kabar
padanya bahwa kaca matanya tengah pincang. Bahwa jendela dunianya tengah
diselubungi selaput. Dia sepertinya enggak perlu tahu, Mbak.”
Aku menganga. Sepertinya mataku ikut terbuka lebar
meski aku tetap tak kan bisa melihat apa-apa. Ibu, terserang penyakit katarak. Jendelaku
merabun termakan usia. Tangkai kaca mataku hanya tinggal satu.
Bukan itu masalahnya. Tapi Ibu begitu takut
membuatku kecewa. Aku tak pernah punya alasan apapun untuk menyayanginya. Aku tak
pernah punya alasan apapun untuk bertumpu padanya. Aku tak pernah punya alasan
apapun untuk yakin padanya.
Hanya karena ia Ibu, hanya itu. Aku tak peduli
matanya sehat semua, buta setengah, atau buta keduanya sepertiku. Aku, tak
peduli. Aku hanya peduli bahwa ia Ibuku.
Bu,
sekarang biarkan aku yang menjadi tongkatmu. Biarkan aku yang mengajarimu
banyak hal. Aku selalu hidup dalam kegelapan. Tapi Ibu adalah penerangnya. Jangan
takut, Bu. Dunia kita berputar. Aku tahu, satu saat kelak aku akan menggantikan
peranmu. Mungkin ini saatnya.
Aku menghampirinya pada meja telpon.
“Nivida…”
Tanganku meraba angin. Mencoba menggapainya. Dapat. Jemarinya
mulai mengeriput tapi tetap hangat.
“Niv…” suaranya hilang tertelan isakan.
Aku tak bisa menahan getaran pada tubuhku. Pipiku basah.
Kata Ibu, aku menangis.
Ibu memelukku. Merengkuhku dalam tubuhnya,
dalam-dalam. Mencoba meredam getaran hebat pada tubuhku. Kukira aku kuat,
nyatanya Ibu masih lebih kuat.
Aku mencoba menenangkan diri. Tapi bahuku masih naik
turun.
“Ibu katarak, Nak. Kaca matamu cacat.”
Aku menggeleng.
“Maafkan Ibu. Ibu belum cukup baik menjaga jendela
duniamu.”
Aku menggeleng lagi. Kini sudah semakin tenang.
“Maaf ya, Nak.”
“Bu, sekarang biarkan Nivida yang jadi tongkat Ibu.
Biarkan Nivida yang jadi penunjuk dunia Ibu.”
Ibu sepertnya kehilangan kata-kata. Kini, aku yang
merengkuhnya. Mencoba meredam getaran hebat pada tubuh ringkihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar