Halaman

Senin, 10 September 2012

Mantan Terindah



Tok tok tok…jemarinya tak kenal lelah. Terus mengetukkan diri pada meja kayu di hadapannya. Sebuah surat beramplop putih dengan garis merah-biru di pinggirannya menjadi pusat perhatiannya. Menjadi pusat edaran pandangannya. Matahari itu bersinar dari dalam amplop lecek tersebut.
 
Dari yang terlihat, kerutan di dahinya tak kalah lecek dengan amplop dan surat itu. Jemarinya berhenti. Matanya lelah tapi penuh harap dan kehangatan. Dibukanya lagi amplop tersebut. Dibacanya lagi lekat-lekat setiap kata yang tertempel di sana.

Kamu kemana saja kemarin? Sadar gak sih semuanya sudah terlalu gak mungkin saat ini, ributnya pada pikiran sendiri.

Hatinya gundah mengaduh. Peraduannya sejak dulu, kini kembali lagi. Mengadu lagi. Setelah sekian lama pergi. Setelah sekian banyak tangkisannya waktu itu. Setelah sekian sering diri itu meminta, tapi tetap tanda silang sebesar alaiumgambreng menghadangnya.

Hatinya disesaki partikel-partikel paradoks. Antara semua yang selalu membuncah selama ini, antara semua yang selalu melelahkannya, antara semua yang selalu menusuknya, dengan sebuah kalimat singkat, padat, jelas, dan hangat,

Hai, apa kabar? Aku rindu. Jarak sebaiknya kita tending jauh dari hidup kita. Mari bangun lagi dari awal.

Kenapa? Kenapa baru sekarang?, tanda tanya besar masih menggantung pada keningnya.
Bibirnya rapat membentuk sudut datar tipis di ujungnya. Hatinya kini masih terlalu pekat untuk disinari dan dicari hal yang dirinya sendiri inginkan. Semuanya semakin usang. Mungkin semuanya sudah melapuk jauh di dalam sana.

Keraguan perlahan mengetuk-ngetuk pintu batinnya. Batinnya menolak untuk kalah. Kalah oleh kedatangannya lagi. Kalah dengan semua kalimat manis itu. Dia harus kembali berdiri. Menahan semua hal indah yang keluar dan berakar, tumbuh, dan bersemi di kepalanya.

Hey, sadarlah. Mau yang keberapa ditinggal lagi? Mau yang keberapa ditolak lagi? Mau yang keberapa dijadikan yang keberapa?, mendadak dia menjadi sokrates untuk dirinya sendiri.

Dihelanya nafas panjang. Seakan karbondioksida itu bisa membawa semua rasa ragu di hatinya, semua rasa cintanya pada dia yang entah sudah berapa ribu kilometer jauhnya. Surat itu disobek tanpa ampun. Tapi detik berikutnya, kristal itu menggumpal pada ujung matanya. Seakan ada pedang es yang menghunus pada hatinya.

***
Dua tahun kemudian…

Aku terduduk dalam gelapnya malam. Kupandangi foto pernikahan kami. Seakan ada gelembung sabun yang bermain di sana. Permen lollipop menjadi pemanis yang terlalu manis. Foto pernikahan itu telah menghuni meja kerjaku sejak dari beberapa bulan yang lalu.

Aku teringat seseorang

Kubuka laci meja kerjaku. Kuambil buku harian lusuh itu. Tak pernah kubuka sejak dua tahun yang lalu. Kubolak-balik isinya. Nah itu dia. Sebuah surat dengan kehangatan sehangat senja. Tulisan itu menghuni kertas yang telah tersobek-sobek, hancur berkeping-keping, tapi telah berhasil kusatukan kembali.

Rapuh. Sepertiku yang masih rapuh sejak menerima surat itu tanpa pernah menanggapinya.

Dia, masih yang terindah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar