Tok tok tok…jemarinya tak kenal lelah. Terus
mengetukkan diri pada meja kayu di hadapannya. Sebuah surat beramplop putih
dengan garis merah-biru di pinggirannya menjadi pusat perhatiannya. Menjadi
pusat edaran pandangannya. Matahari itu bersinar dari dalam amplop lecek
tersebut.
Dari yang terlihat, kerutan di dahinya tak kalah
lecek dengan amplop dan surat itu. Jemarinya berhenti. Matanya lelah tapi penuh
harap dan kehangatan. Dibukanya lagi amplop tersebut. Dibacanya lagi
lekat-lekat setiap kata yang tertempel di sana.
Kamu
kemana saja kemarin? Sadar gak sih semuanya sudah terlalu gak mungkin saat ini,
ributnya
pada pikiran sendiri.
Hatinya gundah mengaduh. Peraduannya sejak dulu,
kini kembali lagi. Mengadu lagi. Setelah sekian lama pergi. Setelah sekian
banyak tangkisannya waktu itu. Setelah sekian sering diri itu meminta, tapi
tetap tanda silang sebesar alaiumgambreng menghadangnya.
Hatinya disesaki partikel-partikel paradoks. Antara
semua yang selalu membuncah selama ini, antara semua yang selalu melelahkannya,
antara semua yang selalu menusuknya, dengan sebuah kalimat singkat, padat,
jelas, dan hangat,
Hai,
apa kabar? Aku rindu. Jarak sebaiknya kita tending jauh dari hidup kita. Mari
bangun lagi dari awal.
Kenapa?
Kenapa baru sekarang?, tanda tanya besar masih menggantung
pada keningnya.
Bibirnya rapat membentuk sudut datar tipis di
ujungnya. Hatinya kini masih terlalu pekat untuk disinari dan dicari hal yang
dirinya sendiri inginkan. Semuanya semakin usang. Mungkin semuanya sudah
melapuk jauh di dalam sana.
Keraguan perlahan mengetuk-ngetuk pintu batinnya.
Batinnya menolak untuk kalah. Kalah oleh kedatangannya lagi. Kalah dengan semua
kalimat manis itu. Dia harus kembali berdiri. Menahan semua hal indah yang
keluar dan berakar, tumbuh, dan bersemi di kepalanya.
Hey,
sadarlah. Mau yang keberapa ditinggal lagi? Mau yang keberapa ditolak lagi? Mau
yang keberapa dijadikan yang keberapa?, mendadak dia menjadi
sokrates untuk dirinya sendiri.
Dihelanya nafas panjang. Seakan karbondioksida itu
bisa membawa semua rasa ragu di hatinya, semua rasa cintanya pada dia yang
entah sudah berapa ribu kilometer jauhnya. Surat itu disobek tanpa ampun. Tapi
detik berikutnya, kristal itu menggumpal pada ujung matanya. Seakan ada pedang
es yang menghunus pada hatinya.
***
Dua
tahun kemudian…
Aku
terduduk dalam gelapnya malam. Kupandangi foto pernikahan kami. Seakan ada
gelembung sabun yang bermain di sana. Permen lollipop menjadi pemanis yang
terlalu manis. Foto pernikahan itu telah menghuni meja kerjaku sejak dari
beberapa bulan yang lalu.
Aku
teringat seseorang
Kubuka
laci meja kerjaku. Kuambil buku harian lusuh itu. Tak pernah kubuka sejak dua
tahun yang lalu. Kubolak-balik isinya. Nah itu dia. Sebuah surat dengan
kehangatan sehangat senja. Tulisan itu menghuni kertas yang telah
tersobek-sobek, hancur berkeping-keping, tapi telah berhasil kusatukan kembali.
Rapuh.
Sepertiku yang masih rapuh sejak menerima surat itu tanpa pernah menanggapinya.
Dia, masih yang terindah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar