Halaman

Senin, 15 Oktober 2012

Selamat Tinggal, Hujan


"Hai, selamat bertemu lagi.
Aku sudah lama menghindarimu.
Sialkulah, kau ada di sini."

Refleksi wajah seorang perempuan sedang tersenyum tipis terlihat pada kaca di hadapanku. Titik-titik hujan menghiasi wajahnya seolah ia sedang berkeringat. Detik berikutnya, senyuman itu pudar. Berganti dengan helaan napas panjang, tatapan kosong, senyum getir. Memilukan.

Sinar matanya meredup. Seakan ingin menyembunyikan kemilaunya dari siapa-siapa yang melihat. Seakan ingin menghindarkan segala yang ada di dirinya dari siapa-siapa yang melihat. Tapi, pandangannya masih terpaku di sana, di kaca seberang. Seorang yang dulu pernah sangat ia cintai, ia damba, kini hanya dapat ia gapai melalui kata, mata, sentuhan pada kaca.

Setelah sekian lama ia berusaha menghindar dari kaca ini, dari kaca itu, dari mata jernih di seberang sana, dan dari rasa sakit ini. Tapi, semuanya lebur. Hancur. Dinding domino pertahannya telah disentil oleh hujan sentimentil. Hujan yang juga rutin ia hindari, meski jelas masih sangat ia kagumi dari balik kaca ini.

Hujan itu perlahan turun lagi. Rintiknya membasahi perempuan cantik pada kaca itu. Perempuan itu kini berdiri menantang hujan. Wajahnya lantang menghadap langit yang tengah menangis ditikam tarian kesedihannya. Ia terduduk lemas pada rumput basah di halaman rumahnya. Airmatanya terlah bersatu dengan kesedihan langit.

Mata mereka bertemu. Lagi. Pelukan hangat itu tinggal sejengkal lagi. Tapi entah, perempuan itu masih terguncang diburu kesedihan mendalam. Payung yang digenggam pria itu, kini telah tertiup angin entah ke mana. Kini, hanya ada mereka, mata yang selalu saling peluk melalui jarak, mata yang saling kagum dalam diam, sentuhan yang sering menyatu dalam ketidakmungkinan, kini mereka lebur dalam hujan. Hujan yang sering kali memanggil mereka untuk berhadapan, dihadang jarak, dijauhkan cinta.

Hujan ini seperti mereka, saling menghindari, tapi tak dapat dihindari, mereka saling jatuh hati.
Seperti menghadapi sang hujan, mereka saling menjauh, menghindar, hanya bisa mencintai lewat kaca, tapi mereka betul-betul saling jatuh hati.

Kali ini, tak ada payung, tak ada jarak, tak ada kaca, tak ada takut.
Hanya si senyum tipis dan mata jernih, saling rengkuh, dalam hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar