Halaman

Senin, 15 Oktober 2012

Bis Kota


Peluh menyembur. Kerutan seakan pakaian satu-satunya. Lelah menjadi yang tak terkalahkan. Tapi jelas, kerja keras menjadi yang paling tangguh.

Belasan orang berjubel di sana. Belasan keluh berawan di sana. Belasan tetes pengorbanan terjatuh di sana. Belasan rasa syukur terucap di sana.

Adakah yang lebih membahagiakan selain mendengar suara orang rumah melalui ponsel? Adakah yang lebih membahagiakan selain mendengar suara orang yang dikasihi?

Terik matahari membakar. Angin malam menusuk. Helaan nafas panjang seakan bercerita kisah kesah mereka masing-masing. Pikiran saling melayang, menerka melalui bayang.

Sekilas saling senyum seakan saling tahu penderitaan masing-masing.

Barang rongsok itu terus melaju. Menerjang segala yang menghadang. Sang pengemudi seakan tak punya tanggung jawab akan nyawa-nyawa yang dibawanya. Padahal, belasan nyawa itu, membawa penyambung nyawa bagi nyawa lainnya.

Tak ada yang bisa menyalahkan. Bagaimana mungkin, seorang yang telah bekerja sekeras dan sekasar mungkin untuk orang-orang rumah, lantas disalahkan? Sepertinya, mereka yang bekerja sekeras dan sekasar itu pun sadar dan tahu.

Pada terminal itu, bis kota berhenti. Bukan untuk pulang ke rumah, tapi singgah. Untuk kembali memacu lajunya di tengah kota, kembali menantang maut, kembali menendang telak bola kepasrahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar