Halaman

Senin, 15 Oktober 2012

Puisi Pagi Hari


Sinar matahari perlahan menerpa wajahku. Semilir angin terbangkan mimpiku. Pagi ini, aku masih terpaku pada bayangmu. Pagi ini, aku masih terduduk pada kursi goyang penuh kenanganmu. Aku, tak pernah ingin mengembalikan dirimu yang dulu. Karena rasa ini, ada hanya karena adanya dirimu.

Jalanan masih sepi. Daun-daun berguguran di tepi. Aku mematung untung sekadar nikmati. Sinar matahari hangat bersama angin menyelimuti. Nafasku tertahan, kemudian terhembus seakan terapi. Langit ini masih tenang, langit ini masih dibingkai dedaunan yang siap segera gugur dan menepi.

Bayangmu muncul lagi. Semua dedaunan seakan berubah menjadi wajahmu. Semua oksigen seakan berubah menjadi wangimu. Hamparan langit luas seakan berubah menjadi bahumu, yang membelakangiku. Jalanan yang membentang panjang bak sajadah ini seakan berubah menjadi segala ketidakmungkinan untuk kita.

Ah wangi kopi menamparku. Aku masih terduduk pada halaman belakang rumah ini. Tanaman-tanaman itu sedang asik menari bersama embun dan sedikit sinar matahari, mengolokku yang masih betah merantai diri pada diri kita yang dulu. Tumpukan buku filsafat tak buatku terdistorsi akan kita.

Hai, adakah kamu akan kembali lagi?
Adakah kamu akan kembali dengan segala yang ada di dirimu saat ini?
Adakah aku salah untuk tak mengharapkanmu berubah seperti sediakala, di saat segala ketidakmungkinan ini membentang luas karenamu?
Well, selamat pagi, sayang.

1 komentar: