Halaman

Selasa, 15 Januari 2013

Hujan Gengsi



Suara geluduk mengiringi pasukan kematian mengawal awan yang akan segera dikubur hidup-hidup di tanah.
Kerasnya angin menggertak lonceng,
Desiran angin merapatkan mantel,
Ayunan palu angin memukul kalah dedauanan yang mati duluan mendahului hujan.

Gelegar geluduk kembali datang. Kali ini dahsyatnya buat awan berkeringat ketakutan. Kaca-kaca yang kokoh pada tiang pancang bumi pun turut meringis tanda kesakitan. Dua insane yang saling bunuh dalam diam pun terpaksa angkat senjata lewat mata.

Tiba waktunya, air langit dihajar sampai kalah dan akhirnya mati. Kematiannya dirayakan tanaman sampai tumbuh subur.

Hujan ini berisik. Tetapi kalah berisiknya dengan gemericik hati dua manusia gengsi. Di dalam hati keduanya, gengsi dan rindu saling hantam. Tetapi sayang, gengsi terlalu sangar bagi rindu. Rindu pun ikut mati, di tanah hati yang ditumbuhi melati.

Suhu dingin menusuk kulit masing-masing dan memaksa mereka saling lihat tanda masih saling pahat. Rindu bangkit. Melati pada hati mereka tumbuh subur. Geletar sesal membahana keras pada gua hati. Tetapi gemetar maaf akhirnya terucap.

Keduanya saling peluk. Mungkin gengsi sudah dibekuk.
Tak ada lagi nyanyian kematian besera iring-iringannya,
Kini yang tinggal hanyalah wangi tanah, yang menguap masuk pada hati dua rindu yang masih saling genggam. Dengan gengsi yang menatap geram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar