Hatinya telah lelah. Terlalu banyak
airmata yang membasahinya. Sudah terlalu lama ia berjalan tanpa arah. Seperti tak
kenal waktu, ia terus menunggu tanpa ada kepastian. Hanya satu yang ia yakini,
cinta.
Zaman sekarang sepertinya terlalu naïf
jika ada hati yang masih menanti hati lainnya untuk sebuah ketidakpastian
dikarenaka cinta. Siapa yang percaya akan cinta yang ditunggu? Ketidakpastian adalah
kepastian. Begitu bukan?
Hatinya telah hancur, berkarat. Lama
menanti bukan hal mudah. Apalagi ketidakpastian. Tapi mengapa cinta masih
menyediakan kesediaan? Jahat? Ya. Pada diri sendiri. Dia bisa keluar dari sana,
hanya dia terlalu takut. Takut jika hati yang tengah ia nanti, akan kembali
saat ia telah pergi beberapa langkah.
Naïf sekali
Tapi entah. Angin apa yang kini
menerpanya sampai ia telah berada pada perjalanan pergi dari penantian tanpa
ujung itu. Meski baru beberapa langkah, meski matanya masih menyimpan luka,
tapi semua yang melihat pasti paham betapa ia telah kuat, tegar, dan yakin
bahwa betapapun ia diminta kembali, hatinya akan tetap melaju, tanpa bisa
dihentikan.
Meski ia masih berjalan dengan langkah
gontai, sesekali terjatuh. Tapi ia tetap melihat lurus kedepan. Tak lagi ia
hiraukan rujukan untuk kembali. Ia yakin, di depan sana, ada yang telah lama
menantinya juga. Atau bahkan mungkin sedang berjalan kearahnya.
“Waktu tak mengobati, ia membiasakan”
Tapi waktu juga memberikan pelajaran. Berhenti
tak membuatnya menanti. Ketidakpastian bukan untuk dinanti, tapi dipastikan. Cinta
bukan untuk dinanti, tapi diberikan. Melepaskan berarti telah lelah. Berhenti bukan
berarti lelah, tapi telah usai.
Kunang-kunang terbang pada malam hari,
agar kita tahu bahwa cahaya itu tetap ada dalam keadaan segelap apapun
Matahari tak bersinar setiap saat,
agar hati ini bergetar hebat saat ia terbenam, dan merindu tak keruan saat
malam menjelang fajar
Ketidakpastian hadir untuk menjadi
kepastian, agar adanya kita tetap sigap
Melemah untuk kemudian tau sampai di
mana letaknya menjadi kuat kembali
Langkah gontai bukan untuk dimanja dan
berdiam, tapi untuk kembali diluruskan dan dikuatkan
Adamu bukan untukku, begitupun adaku
bukan untuk menantimu
Hatiku seharusnya bukan untuk menanti
hati yang tak pasti, tapi mencari yang juga mencariku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar