Tik tok tik tok. Di ruangan sepi ini, kurasakan
suara detik menusukku perlahan. Menantikan ponsel itu berdering dengan display
name seseorang. Samudera. Menantinya menghubungiku seperti menantikan kiamat
datang.
Kutengok lagi, kosong. Tak ada Samudera di sana. Kutahu
ini terlalu premature untuk rasa ini. Aku sadar, aku tak seharusnya mengharap
terlalu tinggi. Tapi aku telah jatuh terlalu dalam, tergelincir, tak tertolong.
Dalam-dalam, di mata hitamnya.
Bahkan setelah kutahu, Samudera tak pernah menjamah
perasaanku yang telah tumpah ruah berantakan. Aku tahu betul bukan aku
orangnya. Samudera masih di sini, duduk di sisiku, dengan mata yang jauh
menerawang, menantikan kehadiran hati yang lain.
Kata orang, sekarang sedang zamannya friendzone. Aku,
korbannya.
Salah sendiri, berharap terlalu banyak, jatuh
terlalu jauh, sampai aku lupa harus kembali ke mana. Lupa harus beranjak ke
mana.
Lupa? Salah. Aku tak mau. Aku tak mau pergi. Aku masih
berharap, ponsel itu akan berdering dengan nama Samudera di sana. Aku masih
berharap aku berada di pelukannya, bukan di sisinya. Aku masih berharap,
matanya terfokus padaku, bukan menerawang jauh.
Semuanya selesai. Alih-alih berjalan lebih jauh
dengan tangannya di genggamanku, malah kekosongan yang menggenggamku erat. Berharap
dapat tertawa bersamanya, malah aku sekarat ditertawakan harapan.
Harapan melambung, kenyataan menyusut.
Aku menari di hadapannya, matanya tetap lurus
menerawang
Ini kita,
Dua dekat,
Yang tak saling ikat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar