Halaman

Selasa, 13 Agustus 2013

Bau Singkong

Yogyakarta, September 2011

Tok tok tok. Ketukan pada pintu kamar mengagetkan gue dan sepupu-sepupu gue yang baru saja selesai menakut-nakuti diri sendiri dengan nonton dvd horror di malam H+2 Hari Raya Idul Fitri. Gue yang masih kaget dengan dada naik turun mirip-mirip pelari yang baru selesai menuntaskan tugasnya berlari sepuluh putaran, menatap ngeri pada pintu kamar puri.

Kedelapan sepupu gue menatap gue yang daritadi teriak paling kencang dengan banyak sumpah serapah keluar dari mulut ini. Tidak hanya itu, tapi gue juga yang awalnya paling getol ngajakin mereka untuk nonton film ini. Salah satu sepupu gue berdiri lalu membuka pintu. Ternyata ada orang di sana! Syukurlah bukan hantu!

“Ayo makan malam. Get dressing, Guys!”

Dari kecil, kami memang kerap kali merayakan hari lebaran di Yogyakarta. Tapi tidak setiap tahun. Biasanya selang-seling dengan merayakan lebaran di Jakarta. Tahun ini, kami akan merayakan lebaran di Yogyakarta. Sudah dua malam kami habiskan di sini, dan belum ada rencana ke mana-mana.

Selesai makan malam di salah satu restoran dengan suasana persawahan—seperti biasa—kami mengobrol bersama orang tua. Salah seorang sepupu gue tiba-tiba bertanya, “Bude, wisata horror yuk?”

Kemudian mata gue mirip mata Nyai Roro Kidul pada lukisan  yang ada di salah satu kamar hotel milik keluarga gue, melotot sambil mendelik. Jangankan untuk berkaca dan melihat mata ini, membayangkannya saja rasanya gue memilih mati.

Tapi rasanya yang kaget dan memilih tidur nyenyak hanya gue, yang lainnya antusias  sambil seksama mendengarkan kisah-kisah horror yang diceritakan Bude yang memang tinggal di Yogyakarta sudah lama sekali. Saking malasnya—oke takut—gue mendengarkan beliau, akhirnya gue duduk di dekat Eyang sambil meladeni adik sepupu gue yang masih berusia 4 tahun.

Acara makan malam itu pun selesai. Saat menuju mobil, entah kenapa nama gue disebut oleh ibunda tercinta. Katanya, gue naik mobil yang isinya anak-anak semua dan disetir oleh salah satu sepupu tercinta. Mati sajalah!

“Sebentar, kenapa emangnya, Ma?”

“Kan kalian katanya mau pergi?”

APAAA??? KALIAAANN?? SEJAK KAPAN GUE BERPARTISIPASI PADA KEANTUSIASAN SEPUPU-SEPUPU GUE ITU PADA WISATA HORROR? BUNUH AJA GUEEEE!!!!

Keempat sepupu laki-laki gue pun menatap penuh keberingasan. Keempatnya menarik gue langsung masuk ke mobil. Sudah tahu nggak mungkinlah gue leas dari mereka, makanya gue pasrah seperti babi yang mau dibakar lalu dimakan di tanah Batak sana.

Gue duduk di bagian pinggir mobil. Sebetulnya gue bisa saja kabur. Tapi gue bingung. Ibunda tercinta bersama Om serta Tante dan Bude yang paling gaul sejagat raya ikut wisata horror ini di mobil yang satu lagi. Dan mobil satu lagi mengantar sisa keluarga gue yang sangat tidak asik dan sudah pasti akan langsung tidur di puri nanti. Mati saja gue sendirian di puri sewaan.

Lalu sepupu gue yang paling sialan ini menggerakkan mobil menuju sekolah Stela Duce. Seperti urban legend lainnya, sekolah ini memang sudah terkenal dengan bau singkong dan kentang gorengnya. Konon, dulu ada tukang gorengan yang meninggal di depan sekolah itu. Dan sampai saat ini, di malam hari akan selalu menyeruak bau isi dagangannya zaman dulu itu.

Menurut cerita Bude, bau singkong dan kentang goreng itu menandakan ada demonology activity (berasa Ed Warren), di mana ada Genderuwo yang sedang asik kongkow di sekitaran situ. Ya sudah, barang kali dia sedang asik dengan singkon dan kentang gorengnya. Gue hanya mau bilang, bahwa potato wedges jauh lebih enak daripada sekadar kentang goreng abang-abang. Abang-abang yang sudah meninggal pula.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAA” iya, ini suara gue.

Mereka langsung menatap gue geram. “Baru masuk jalannya, neng.”

Iya, kami memang belum sampai di depan sekolah. Ini baru di ujung jalannya. Jika dengan melambaikan tangan gue bisa terselamatkan, gue akan melakukannya bahkan sampai tangan gue lepas dari tematnya selama 17 tahun ini tinggal.

Gue mau protes, kami sudah sampai. Mereka tidak akan keberatan kalau menurunkan gue di sana. Ya yang keberatan ya guelaaaaaah!!!!!

Sepupu gue melambatkan laju kendaraan, kemudian membuka semua jendela dari tempatnya. Dia memang seperti kotoran kerbau, menyebalkan. Tapi, anehnya sampai di ujung jalan pun kami tidak merasakan bau singkong atau pun kentang. Rasanya gue ingin sekali bahagia. Tidak ada demonology activity kalau kata Ed Warren, mah.

Oh tentu bukan sepupu gue namanya kalau cepat menyerah. Dia putar balik, kemudian berhenti tepat di depan sekolah Stela Duce. Mesin ia matikan. Jendela ia buka semua. Dan gue duduk di pinggir. Rasanya senyum teduh Ibu Bidadari Lala kalah tulusnya dibanding senyum gue saat itu.

“Bro...singkong bro...” salah satu sepupu gue yang duduk di bagian pinggir satunya lagi. Dia adalah sepupu gue yang paling tidak punya rasa takut barang segaris sidik jari pun.

“Lah iya....” sahut sepupu gue yang lainnya.

Gue? Di mana? Gue mendekap lutut sambil duduk di bawah jok mobil. Menikmati kejahilan mereka. Dan semakin denial dengan bau singkong yang sudah sampai pada indera penciuman gue.

Sekarang, gue sedang duduk di pojok kamar demi berdoa. Sebentar, bukan mendoakan Genderuwo itu pergi, tapi mendoakan diri sendiri agar menang pada: http://internet.telkomsel.com/nekadtraveler/terms/telkomsel.com/nekadtraveler dan http://internet.telkomsel.com/nekadtraveler/terms/tsel.me/TVCNekadTraveler

1 komentar:

  1. Heheheh cerita yang unik, di sampaikan dengan cara unik bikin orang mau baca sampai akhir.
    Mungkin memang lebih baik pasrah dari pada menghindar tapi tidak berdaya.
    kunbek yah bukan kunti
    http://thimits.blogspot.com/2013/08/menembus-jarak-bertabir-nekad-traveler.html

    BalasHapus