Yogyakarta, September 2011
Tok tok tok. Ketukan pada pintu kamar
mengagetkan gue dan sepupu-sepupu gue yang baru saja selesai menakut-nakuti
diri sendiri dengan nonton dvd horror di malam H+2 Hari Raya Idul Fitri. Gue yang
masih kaget dengan dada naik turun mirip-mirip pelari yang baru selesai
menuntaskan tugasnya berlari sepuluh putaran, menatap ngeri pada pintu kamar
puri.
Kedelapan sepupu gue menatap gue yang
daritadi teriak paling kencang dengan banyak sumpah serapah keluar dari mulut
ini. Tidak hanya itu, tapi gue juga yang awalnya paling getol ngajakin mereka
untuk nonton film ini. Salah satu sepupu gue berdiri lalu membuka pintu. Ternyata
ada orang di sana! Syukurlah bukan hantu!
“Ayo makan malam. Get dressing, Guys!”
Dari kecil, kami memang kerap kali
merayakan hari lebaran di Yogyakarta. Tapi tidak setiap tahun. Biasanya selang-seling
dengan merayakan lebaran di Jakarta. Tahun ini, kami akan merayakan lebaran di
Yogyakarta. Sudah dua malam kami habiskan di sini, dan belum ada rencana ke
mana-mana.
Selesai makan malam di salah satu
restoran dengan suasana persawahan—seperti biasa—kami mengobrol bersama orang
tua. Salah seorang sepupu gue tiba-tiba bertanya, “Bude, wisata horror yuk?”
Kemudian mata gue mirip mata Nyai Roro Kidul
pada lukisan yang ada di salah satu
kamar hotel milik keluarga gue, melotot sambil mendelik. Jangankan untuk
berkaca dan melihat mata ini, membayangkannya saja rasanya gue memilih mati.
Tapi rasanya yang kaget dan memilih
tidur nyenyak hanya gue, yang lainnya antusias
sambil seksama mendengarkan kisah-kisah horror yang diceritakan Bude
yang memang tinggal di Yogyakarta sudah lama sekali. Saking malasnya—oke takut—gue
mendengarkan beliau, akhirnya gue duduk di dekat Eyang sambil meladeni adik
sepupu gue yang masih berusia 4 tahun.
Acara makan malam itu pun selesai. Saat menuju
mobil, entah kenapa nama gue disebut oleh ibunda tercinta. Katanya, gue naik
mobil yang isinya anak-anak semua dan disetir oleh salah satu sepupu tercinta. Mati
sajalah!
“Sebentar, kenapa emangnya, Ma?”
“Kan kalian katanya mau pergi?”
APAAA??? KALIAAANN?? SEJAK KAPAN GUE
BERPARTISIPASI PADA KEANTUSIASAN SEPUPU-SEPUPU GUE ITU PADA WISATA HORROR?
BUNUH AJA GUEEEE!!!!
Keempat sepupu laki-laki gue pun menatap
penuh keberingasan. Keempatnya menarik gue langsung masuk ke mobil. Sudah tahu
nggak mungkinlah gue leas dari mereka, makanya gue pasrah seperti babi yang mau
dibakar lalu dimakan di tanah Batak sana.
Gue duduk di bagian pinggir mobil. Sebetulnya
gue bisa saja kabur. Tapi gue bingung. Ibunda tercinta bersama Om serta Tante
dan Bude yang paling gaul sejagat raya ikut wisata horror ini di mobil yang
satu lagi. Dan mobil satu lagi mengantar sisa keluarga gue yang sangat tidak
asik dan sudah pasti akan langsung tidur di puri nanti. Mati saja gue sendirian
di puri sewaan.
Lalu sepupu gue yang paling sialan ini
menggerakkan mobil menuju sekolah Stela Duce. Seperti urban legend lainnya,
sekolah ini memang sudah terkenal dengan bau singkong dan kentang gorengnya. Konon,
dulu ada tukang gorengan yang meninggal di depan sekolah itu. Dan sampai saat
ini, di malam hari akan selalu menyeruak bau isi dagangannya zaman dulu itu.
Menurut cerita Bude, bau singkong dan
kentang goreng itu menandakan ada demonology activity (berasa Ed Warren), di
mana ada Genderuwo yang sedang asik kongkow di sekitaran situ. Ya sudah, barang
kali dia sedang asik dengan singkon dan kentang gorengnya. Gue hanya mau
bilang, bahwa potato wedges jauh lebih enak daripada sekadar kentang goreng
abang-abang. Abang-abang yang sudah meninggal pula.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAA” iya, ini suara gue.
Mereka langsung menatap gue geram. “Baru
masuk jalannya, neng.”
Iya, kami memang belum sampai di depan
sekolah. Ini baru di ujung jalannya. Jika dengan melambaikan tangan gue bisa
terselamatkan, gue akan melakukannya bahkan sampai tangan gue lepas dari
tematnya selama 17 tahun ini tinggal.
Gue mau protes, kami sudah sampai. Mereka
tidak akan keberatan kalau menurunkan gue di sana. Ya yang keberatan ya
guelaaaaaah!!!!!
Sepupu gue melambatkan laju kendaraan,
kemudian membuka semua jendela dari tempatnya. Dia memang seperti kotoran
kerbau, menyebalkan. Tapi, anehnya sampai di ujung jalan pun kami tidak
merasakan bau singkong atau pun kentang. Rasanya gue ingin sekali bahagia. Tidak
ada demonology activity kalau kata Ed Warren, mah.
Oh tentu bukan sepupu gue namanya kalau
cepat menyerah. Dia putar balik, kemudian berhenti tepat di depan sekolah Stela
Duce. Mesin ia matikan. Jendela ia buka semua. Dan gue duduk di pinggir. Rasanya
senyum teduh Ibu Bidadari Lala kalah tulusnya dibanding senyum gue saat itu.
“Bro...singkong bro...” salah satu
sepupu gue yang duduk di bagian pinggir satunya lagi. Dia adalah sepupu gue
yang paling tidak punya rasa takut barang segaris sidik jari pun.
“Lah iya....” sahut sepupu gue yang
lainnya.
Gue? Di mana? Gue mendekap lutut sambil
duduk di bawah jok mobil. Menikmati kejahilan mereka. Dan semakin denial dengan
bau singkong yang sudah sampai pada indera penciuman gue.
Sekarang, gue sedang duduk di pojok kamar demi berdoa. Sebentar, bukan mendoakan Genderuwo itu pergi, tapi mendoakan diri sendiri agar menang pada: http://internet.telkomsel.com/nekadtraveler/terms/telkomsel.com/nekadtraveler dan http://internet.telkomsel.com/nekadtraveler/terms/tsel.me/TVCNekadTraveler
Heheheh cerita yang unik, di sampaikan dengan cara unik bikin orang mau baca sampai akhir.
BalasHapusMungkin memang lebih baik pasrah dari pada menghindar tapi tidak berdaya.
kunbek yah bukan kunti
http://thimits.blogspot.com/2013/08/menembus-jarak-bertabir-nekad-traveler.html