Entah apa alasan Tuhan menciptakan benda kecil yang satu itu,
Tak usah dimakan, dilihat saja sudah buat perih.
Layaknya hati yang berhari-hari mengharapmu,
Meski dari jarak yang tak terhitung,
Namun rasa sakit sepertinya betah menggantung.
Memang, jemarilah yang berdempetan dengannya saat memotong,
Namun entah, rasanya mata ini terlalu sering nonton drama.
Mungkin mata sedih menyaksikan ia yang mati terpenggal-penggal menjadi
beberapa bagian,
Atau barang kali,
Mata hanya ingat bahwa betapa hatinya pernah menjadi sehancur dan sesakit
itu.
Hatinya, pernah patah dan tak tahu bagaimana caranya hidup lagi.
Jika tak dipotong, maka ia dikupas.
Dipotong buatmu menangis, dikupas buatmu kesal bukan main.
Habis lapisan pertama, hadir lapisan kedua.
Kali ini, perih dan cinta punya masalah yang sama,
Entah pada lapisan keberapa keduanya akan habis.
Aku masih termangu di depan meja dapur.
Sibuk mengusap air mata yang jatuh di hadapan puluhan bawang merah yang
kurajang habis setelah kukupas sampai lapisan terakhir.
“Ya ampun! Buat apa bawang sebanyak ini?”
“Untuk aku, agar ada alasan mengapa di waktu sepagi ini menangis.”
Hari ke enam ratus,
Dan hati ini masih basah.
Barang kali alasan Tuhan menanam ia persis seperti alasan Tuhan mencetak
perih pada kamus dan hati,
Agar kita, lebih tahu bahagia bukan sekadar kata...
Harapan yang
masih memancarkan air mata,
Meski entah
sudah pada lapisan keberapa,
Pun, entah pada
keperihan sebesar apa.
Bawang merah memang selalu hadir bersama tetesan air mata. Tak akan habis hingga lapisan terakhir. Mungkin, itu pula Ibu selalu memotong bawang merah terlebih dahulu baru bawang putih. Bawang putih tidak akan membuat air matamu memburai. :D
BalasHapus